Title:
Forget? Never!
Author: TaraChun
Genre:
Friendship, Romance
Main
Cast: Calvin Chen as Chen Yi Ru
Hebe
Tian as Tian Fu Zhen
Other
Cast: JJ Lin as Lin Jun Jie
Danson Tang as Tang Yu
Zhe
Jiro Wang as Wang Da
Dong
Genie Zhuo as Zhuo Wen
Xuan
Ariel Lin as Lin Yi Chen
Cameo: Wu Chun as Zun (ep.6)
Yan Ya Lun as Aaron
(ep.6)
Disclamer: Saya membuat cerita akan selalu berkaitan dengan Fahrenheit karna saya
amat sangat mengagumi mereka. Buat yang baca harap komen kritik dan
saran nya. Silahkan mengcopy tapi jangan mengakui itu karya kalian.
Makasih.
“Sirius? Special? Apa maksudnya?” gumam
Calvin, sesuatu yang tak asing menyergapi dirinya.
Calvin
begitu putus asa karena tidak mengetahui apa maksud ucapan Fu Zhen tadi padahal
ia yakin jika hal itu berkaitan dengan dirinya. Entah, keyakinan darimana tapi
yang jelas semua yang berhubungan dengan Fu Zhen selalu membuatnya ingin tahu
dan memiliki keyakinan jika di masa lalu mereka memiliki hubungan yang sulit
untuk dijelaskan oleh otaknya sendiri.
Lelah
berpikir, akhirnya Calvin memutuskan untuk masuk ke kamarnya. Sementara Danson
yang memang sejak awal mengetahui keberadaan Calvin yang menguping
pembicaraannya dengan Fu Zhen hanya bisa mendengus kasar. Ia tak habis pikir dengan
jalan pikir kedua orang itu terutama gadis misterius menurutnya yang bernama
Tian Fu Zhen.
***
Matahari
menunjukkan pesonanya di saat bulan mulai tenggelam. Hari telah berganti dan
liburan musim panas yang sebenarnya baru di mulai. Semuanya sudah berkumpul di
meja makan. Setelah sarapan, mereka berencana langsung pergi berwisata.
Tujuan
mereka adalah tempat yang menjadi primadona di Hualien ini, yaitu Taroko
National Park. Banyak hal menarik yang bisa mereka lihat di sana. Terlebih
objek wisata ini merupakan tujuan utama para wisatawan yang datang ke Hualien.
Mereka
tak akan mau melewatkan keindahan alam yang menyajikan panorama yang pasti
sulit dilihat jika berada di kota padat seperti Taipei. Di sana mereka dapat
menyaksikan air terjun bercabang, sungai yang dibentangi oleh jembatan gantung
serta kuil cantik di tepi jurang yang dalam.
Setibanya
di Taroko National Park, anak-anak itu berhamburan keluar bus menuju tempat
yang mereka inginkan untuk melihat keindahannya. Namun, ternyata ada satu anak
yang memiliki tujuan berbeda di sini.
“Bisa
ikut jalan-jalan denganku?” Jiro menghampiri Fu Zhen dan Yi Chen yang tengah
asyik membicarakan tujuan mereka ingin mengunjungi tempat yang mana.
Tentu
Jiro tak sendirian, Calvin ikut bersamanya untuk menemani Fu Zhen. Yah, Jiro
mengajak Yi Chen untuk jalan-jalan bersama melihat pemandangan indah di sini.
Hanya berdua untuk melancarkan aksinya. Yi Chen melihat kea rah Fu Zhen meminta
persetujuan sahabatnya itu yang dijawab dengan anggukan singkat.
“Baiklah,”
sahut Yi Chen.
Akhirnya
Jiro dan Yi Chen jalan berdua, meninggalkan Fu Zhen dan Calvin dalam
kecanggungan. Mereka tak tahu harus membahas apa untuk memulai percakapan.
Lebih tepatnya Calvin yang merasakan hal itu karena Fu Zhen terlihat santai.
Menunggu
Calvin yang masih tetap bungkam membuat Fu Zhen bosan. Ia berniat pergi saja
tapi baru selangkah saja sudah terasa jika ada yang mencekal tangannya. Gadis
itu menoleh dan berhasil membuat Calvin salah tingkah.
“Jangan
pergi!” pinta Calvin memasang ekspresi memohonnya pada Fu Zhen sementara gadis
itu hanya memutar bola matanya.
“Aku
hanya ingin mengikuti mereka,” Fu Zhen menunjuk ke arah Jiro dan Yi Chen yang
semakin tak terlihat.
“Sebaiknya
biarkan saja mereka berdua dulu,” ujar Calvin yang masih ingin lebih lama
berdua dengan Fu Zhen dan bermaksud memberikan kesempatan pada sahabatnya untuk
bisa lebih dekat dengan Yi Chen.
“Yah,
aku tahu Jiro itu pria baik tapi bagaimana pun juga saat ini sahabatku sedang
bersama dengan playboy FIHS. Apa aku bisa percayakan Yi Chen pada Jiro?” tanya
Fu Zhen yang sebenarnya ia sudah tahu sendiri jawaban itu.
“Kali
ini kau bisa percaya pada Jiro. Seorang pria tidak akan pernah ingin menyakiti
gadis yang dicintainya,” sahut Yi Ru dengan tatapan sendunya berharap Fu Zhen
mengerti.
“Aku mengerti maksudmu Calvin tapi sayangnya
terkadang ego seseorang tak bisa dikontrol dengan baik. Kuharap takdiri tidak
mempermainkan kita,” batin Fu Zhen menanggapi ucapan Calvin tanpa menyuarakannya, cukup ia
yang tahu bagaimana hatinya saat ini.
Berbeda
dengan Fu Zhen dan Calvin yang tampak kaku. Jiro dan Yi Chen asyik membicarakan
berbagai macam hal selama jalan-jalan mereka. Keduanya berhenti di sebuah
jembatan dekat kuil. Mereka kini terdiam, tampak keduanya merasa canggung satu
sama lain.
Beberapa kali Jiro
berusaha untuk membuka suaranya tapi selalu gagal. Ia tak tahu kenapa segugup
ini ketika bersama Yi Chen bahkan sudah berulang kali Jiro menghela nafas kasar
berusaha menenangkan dirinya. Sementara Yi Chen terlihat sangat menikmati
pemandangan yang tersuguh di hadapannya.
“Euhmm
… Yi Chen!” panggil Jiro yang hanya disahuti deheman oleh gadis itu. “Aku …,”
suara Jiro tercekat, entah kenapa sulit sekali baginya untuk mengeluarkan
kata-kata.
Yi
Chen akhirnya menoleh karena ucapan Jiro yang menggantung. Aku? Maksudnya? Baru
kali ini Yi Chen melihat Jiro berperilaku aneh seperti sekarang. Biasanya pria
ini selalu aktif bicara, lalu kenapa sepertinya Jiro sulit untuk berkata-kata?
“Kau
ingin bicara apa?” tanya Yi Chen.
“Sebenarnya
aku … euhmm …. A – aku menyukaimu,” akhirnya Jiro bisa mengucapkannya dan
terlihat ia bisa menghela nafas lega.
Tak
ada sepatah kata pun keluar dari mulut Yi Chen. Ia bingung dengan ucapan Jiro.
Apakah pria ini serius atau hanya ingin main-main saja dengannya seperti yang
dilakukan Danson dulu? Jujur Yi Chen masih sedikit trauma untuk menjalin
hubungan terlebih dengan pria yang sudah dicap playboy seperti Jiro. Yah,
walaupun sebenarnya sampai saat ini ia masih mengagumi sosok Danson.
Yi
Chen masih membeku di tempatnya, bingung harus menjawab apa. Ia sendiri bahkan
tak tahu bagaimana perasaannya saat ini? Apakah ia bisa mempercayai Jiro? Yi
Chen takut jika lagi-lagi ia tersakiti oleh seorang playboy.
“Aku
…,” perkataannya masih menggantung, terlihat jelas binary keraguan di matanya.
“Mungkin
menurutmu aneh tapi aku jujur, baru pertama kali merasakannya,” Jiro berusaha
meyakinkan Yi Chen tentang perasaannya, ia tahu jika Yi Chen masih meregukannya
karena pernah tersakiti oleh seorang pria yang memiliki imej sama sepertinya.
“Aku
… tidak tahu. Aku nyaman bersamamu, tapi … sungguh sulit Jiro,” sungguh Yi Chen
menyesal mengatakannya, sama saja bukan jika itu artinya ia sedang menolak Jiro
sekarang?
Ketika
melihat kekecewaan yang terpancar jelas dari mata Jiro. Yi Chen merasa sangat
bersalah, entah kenapa ia tak suka melihat wajah Jiro yang biasanya ceria
menjadi muram. Kenapa aku seperti ini? Aku sungguh tak mengerti dengan diriku
sendiri, batin Yi Chen bergejolak.
“Yah,
aku tahu. Semuanya butuh proses dan aku akan menunggu,” ujar Jiro penuh
keseriusan yang membuat Yi Chen semakin merasa bersalah.
Tanpa
sadar bulir-bulir bening meluncur mulus dari kedua manik mata indah Yi Chen.
Tentu hal itu membuat Jiro panik, ia merasa jika dirinya terlalu memaksa Yi
Chen sehingga membuat gadis itu menangis. Namun, bukan itu alasan sebenarnya.
Yi Chen sangat menyesal sudah menolak pria yang tulus seperti Jiro.
Entah
kenapa Yi Chen merasa Jiro benar-benar tulus menyukainya. Kenapa ia baru sadar
setelah beberapa saat lalu menolak pernyataan pria di hadapannya ini? Rasa
nyaman ketika berada di dekat Jiro selama beberapa waktu ini belum pernah ia
rasakan saat dulu menjadi kekasih Danson. Ia dulu hanya merasa bangga karna
berhasil berpacaran dengan idolanya.
“Hei!
Yi Chen!” Jiro bingung harus berbuat apa, ia mengacak rambutnya berkali-kali
hingga terlihat berantakan namun terkesan seksi. “Ayolah, jangan menangis!
Baiklah! Aku janji tidak akan memaksa atau jika perlu aku tidak akan
mengganggumu lagi tapi kumohon berhenti menangis, oke?” Jiro memelas frustasi.
TIDAK!
Batin Yi Chen menjerit. Ia tak ingin Jiro menjauh darinya apalagi jika sampai
pria ini menghilang dari jarak pandangnya. Entahlah! Memikirkan jika itu
terjadi semakin membuatnya sesak dan tangisan Yi Chen semakin keras. Jiro
sendiri benar-benar bingung dengan reaksi Yi Chen dan tak tahu lagi harus
melakukan apa? Pikirannya kosong. Ia tidak tahu bagaimana cara mengehentikan
seorang gadis yang menangis.
“Astaga!
Berhentilah menangis Yi Chen, sebenarnya kau ingin aku bagaimana?” tanpa pikir
panjang lagi Jiro langsung menarik Yi Chen masuk dalam pelukannya, berharap
gadis ini berhenti menangis.
Tubuh
Yi Chen menegang seketika, mengetahui dirinya kini berada dalam pelukan
seseorang. Jiro memeluknya, itu membuat Yi Chen sulit mengatur detak jantungnya
yang tengah berlomba. Perlahan tangisannya yang keras tadi hanya menyisakan
isakan kecil yang keluar dari bibirnya.
Jiro
sendiri merasa Yi Chen sudah mulai tenang. Ia hanya mendengar isakan kecil dari
gadis itu. Pelrahan ia mencoba melepaskan pelukannya tapi ada hal yang menbuat
tubuhnya menegang. Yi Chen mengeratkan pelukannya, tak ingin melapas kehangatan
yang ia peroleh dari Jiro. Perasaan senang namun gugup menghampiri Jiro karena
reaksi Yi Chen yang tak ia duga sebelumnya.
“Jangan
dilepas! Wajahku pasti memalukan sehabis menangis tadi dan kau mungkin tidak
akan menyukaiku lagi jadi biarkan saja seperti ini,” ujar Yi Chen semakin
mengeratkan pelukannya di pinggang Jiro
Yi
Chen membenamkan wajahnya di dada bidang pria itu, ia bisa menghirup aroma mint
yang menguar dari tubuh Jiro dan itu sangat menenangkannya. Sementara reaksi
Jiro sendiri tampak tak percaya dengan yang ia alami saat ini. Benarkah Yi Chen
yang sekarang berganti memeluknya? Astaga! Betapa senangnya Jiro jika ini bukan
mimpi.
“Apa ini bukan mimpi?”
batinnya sangat berharap jika ini nyata dan iseng Jiro mencubit tangannya
sendiri yang juga masih memeluk punggung Yi Chen. “Aww!” pekiknya tanpa sadar.
“Kau
kenapa?” tanya Yi Chen dengan ekspresi polosnya melepas pelukan mereka dan
berganti menatap Jiro setelah mendengar pekikan dari pria ini.
“Aku
tidak bermimpi,” gumam Jiro. “Ja – jadi kita?” ia menggantungkan pertanyaannya
berharap Yi Chen mengerti akan maksudnya.
“Kita
apa?” tanya Yi Chen lagi masih dengan ekspresi polosnya, mata yang sembab dan
hidung mungilnya yang memerah serta bibir yang sedikit bengkak karena menangis
tadi membuat Jiro semakin gemas dengan gadis ini.
“Lin
Yi Chen, please! Jangan membuatku
bingung, okay? Jadi apa maksudmu
mulai sekarang kita menjadi sepasang yang berbahagia?” Jiro berusaha menekan
dalam-dalam emosinya yang sudah sangat tidak sabar dengan kepolosan Yi Chen
yang terkadang memang sangat menyebalkan.
Gadis
itu sangat mengerti maksud Jiro sebenarnya, ia hanya ingin memancing pria di
hadapannya ini untuk mengatakan sesuatu tentang mereka saat ini. Pipinya merona
saat Jiro mengatakan kenyataan hubungan mereka saat ini. Pria ini benar-benar
sudah gemas dengan sikap Yi Chen yang seolah tak mengerti maksud dan arah
tujuan pembicaraan mereka.
“Well! Karena sejak tadi tidak menjawab
apapun yang aku tanyakan maka aku ambil kesimpulan bahwa mulai saat ini kau
milikku. Jadi kau tidak boleh dekat-dekat dengan pria manapun selain aku
kecuali jika saat itu aku sedang bersamamu,” ujar Jiro menegaskan sedangkan Yi
Chen membulatkan mulutnya, tak menyangka ternyata Jiro bisa menjadi sangat
posesif.
“Termasuk
Calvin?” tanya Yi Chen lagi.
“Yah,
termasuk Calvin!” sahutnya tegas seraya menarik kembali Yi Chen dalam
dekapannya. “Wo zhende xihuan ni suoyi wo
bu hui fangkai ni. Ni shi wo de, yongyuan!” lanjutnya semakin mengeratkan
pelukan mereka, ia takkan melepas Yi Chen. Gadis ini adalah miliknya sampai
kapanpun.
“Dui. Wo shi ni de er wo ye xihuan ni, Wang
Da Dong!” sahut Yi Chen yang juga makin membenamkan wajahnya pada dada
bidang Jiro.
Mereka
masih asyik berpelukan seakan dunia hanya milik mereka tanpa ada seorang pun
yang mengganggu. Keduanya merasa sangat bahagia dengan hubungan yang akan
merangkai kisah baru mereka. Harapan pasti keduanya hanya cerita cinta mereka
akan indah untuk dikenang suatu saat nanti dan bisa bersama selamanya.
Akhirnya
mereka sadar terlalu lama menghabiskan waktu berdua. Perasaan yang meluap-luap
bahagia, musim semi dengan bunga-bunga yang indah bermekaran menggambarkan
betapa bahagianya mereka. Yah, walau saat ini sedang musim panas tapi perasaan
tak harus sama dengan musim yang sedang terjadi, bukan?
“Mungkin
mereka sedang mencari kita saat ini,” ujar Yi Chen pertama kali melepas
pelukannya.
“Tapi
aku masih ingin berdua saja denganmu Yi Chen,” Jiro merengek agar kekasihnya
ini mengerti bahwa ia ingin lebih lama lagi menghabiskan waktu mereka berdua.
“Lagipula saat pengumuman sudah dijelaskan jika kita akan berkumpul lagi pada
jam makan siang jadi sekarang lebih baik kita nikmati saja dulu momen indah ini
tanpa gangguan,” lanjutnya penuh harap agar Yi Chen setuju.
“Bagaimana
dengan Fu Zhen? Dia ….”
“Ada
Calvin yang bisa menemaninya, lebih baik kita membiarkan mereka berdua agar
ingatan Calvin bisa cepat pulih,” Jiro memotong ucapan Yi Chen bukan hanya
karena alasan ingin berdua dengan Yi Chen tapi ia memang ingin membantu
sahabatnya agar Calvin bisa cepat mengingat Fu Zhen sebelum batas waktu yang Fu
Zhen tentukan akhirnya tiba dan itu pasti membuat mereka menyesal nantinya.
“Yah,
sepertinya kau benar. Aku juga tidak tahan melihat Fu Zhen seperti sekarang
ini, ia terlalu banyak berkorban perasaan,” sahut Yi Chen menyetujui ucapan
kekasihnya. “Tapi bagaimana dengan Jun
Jie ge?” batinnya memikirkan nasib kakak yang sangat ia sayangi itu. “Perasaan seseorang memang tak bisa ditebak,
semua sudah ditentukan oleh takdir. Hanya bisa berharap cinta tulus ini tidak
menyakiti siapapun walau memang harus ada yang dikorbankan untuk mendapat yang
terbaik,” pikirnya lagi dan hanya berharap ketiga orang ini bisa memperoleh
kebahagiaan cinta yang diagung-agungkan setiap manusia.
***
Berbeda
dengan Yi Chen dan Jiro yang sedang bersemi, kedua insan yang sejak tadi
menunggu sahabat masing-masing tak ada yang mengeluarkan suara sama sekali.
Mereka seolah merasa hanya seorang diri padahal jelas ada seseorang di
sampingnya.
Mungkin
lebih tepat Fu Zhen yang dikatakan seperti itu, Calvin sejak tadi sesekali
mencuri pandang ke gadis yang duduk manis di sebelahnya. Menatap kagum ciptaan
Tuhan yang begitu indah di matanya. Air terjun yang mengalir dari atas dan
arusnya yang deras menerpa bebatuan sungguh sangat menakjubkan.
“Ehemm,”
Calvin berdehem, mulai merasa jengah dengan keheningan di antara mereka dan Fu
Zhen akhirnya menoleh seolah dengan pandangan yang mengatakan ‘ada apa?’ namun
tak langsung ditanggapi oleh Calvin.
Pria
ini masih memandang lurus ke depan sebelum akhirnya membuka suara. Pertanyaan
yang sudah sejak lama ia pendam dan harus diungkapkan sekarang juga. Calvin tak
mau menyiakan waktu yang berharga ini karena belum tentu suatu saat nanti ia
bisa berdua saja dengan Fu Zhen.
“Ada
yang ingin kutanyakan padamu,” Fu Zhen tak menjawab, menanti pertanyaan Calvin.
“Sedekat apa hubungan kita dulu? Kuharap kau jangan mengelak lagi karena aku
sudah sangat yakin jika dalam masa laluku dulu kau adalah salah satu sosok yang
hilang,” lanjutnya.
Fu
Zhen diam beberapa saat sebelum akhirnya ia menghela nafas berat dan menjawab.
Bukankah sulit jika sesuatu yang menyakitkan itu kembali ke permukaan terlebih
orang yang mengungkitnya adalah yang memiliki kaitan erat. Yah, walau
kenyataannya orang itu tidak tahu apa-apa saat ini. Namun, tetap saja dalam hal
ini Fu Zhen lah yang dirugikan, ia yang dilupakan.
“Bukankah
aku pernah mengatakan padamu? Berusahalah mengumpulkan puzzle-puzzle itu dan
kembali membuatnya ke bentuk semula maka kau akan mengetahui apa yang hilang,”
sahut Fu Zhen tanpa mengalihkan pandangannya dari air terjun yang sangat tepat
digunakan untuk menenangkan pikirannya saat ini.
“Aku
tidak butuh jawaban yang seperti itu Fu Zhen. Bagaimana bisa aku mengingat
sesuatu jika semuanya benar-benar masih abu-abu bagiku? Seharusnya kau mengerti
kondisiku saat ini dan dengan menjauhkan dirimu dariku apa kau pikir itu akan
membuatku bisa mengingatmu? Setidaknya jangan menjauh dariku agar segalanya
menjadi lebih mudah!” Calvin sendiri sudah tidak kuat lagi untuk menahan
ledakan isi pikirannya, semua meluncur dengan mulus begitu saja dari bibirnya.
Setelah
mengatakan itu, Calvin beranjak dari duduknya memilih meninggalkan Fu Zhen
sendiri. Ia takut jika semakin lama bersama gadis itu membuatnya tak bisa
mengontrol emosi dan akan berdampak buruk bagi mereka. Calvin butuh waktu untuk
menenangkan dirinya saat ini. Ia sadar kalau mungkin ucapannya sedikit keterlaluan
pada Fu Zhen tapi entah kenapa isi pikirannya tumpah begitu saja keluar dari
mulutnya.
Sepeninggal
Calvin membuat Fu Zhen benar-benar merasa jika dirinya jahat tapi ia hanya
ingin agar Calvin bisa menepati janji mereka dulu. Apakah dirinya begitu egois
mengharapkan Calvin bisa mengingatnya tanpa harus dekat dengan dirinya? Seakan
dunia tak lagi berputar pada porosnya, begitulah keadaan Fu Zhen saat ini.
Ucapan Calvin tadi terus terngiang di pikirannya membuat refleks sarafnya yang
lain melemah. Bahkan ia tak sadar jika ada yang memperhatikan mereka sejak
tadi.
Drrttt
… Drrttt … Drrttt ….
Getaran
ponselnya masih belum bisa mengembalikan kesadaran Fu Zhen. Gadis itu mulai
mengerjap lagi ketika getaran yang menandakan ada panggilan masuk berhenti dan
kembali bergetar. Melihat caller id
yang tertera pada layar ponselnya membuat Fu Zhen dengan cepat menekan tombol
hijau untuk menjawab panggilan.
“Wei,” sahutnya lemas
“Kau kenapa?” suara di seberang sana
terdengar khawatir ketika Fu Zhen menjawabnya dengan nada lemah.
“Ada
apa Jun Jie ge?” tanyanya lagi tanpa
menjawab pertanyaan orang yang ternyata adalah Jun Jie.
“Terjadi sedikit masalah, kita harus segera
kembali,” sahut Jun Jie yang tak mau memikirkan lagi apa yang terjadi pada
Fu Zhen karena gadis itu sendiri tidak menjawab pertanyaannya.
“Masalah
apa?” kini nada suara Fu Zhen pun tak kalah seriusnya.
“Curiosity masih belum sempurna, saat
percobaan akan dilakukan terdapat beberapa keganjilan dan kita harus
mendiskusikannya lagi dengan yang lain jadi kesimpulannya kau mengerti kan?”
“Ah,
kenapa harus ada masalah di saat seperti ini?” gerutu Fu Zhen, ia benar-benar
gusar sekarang karena masalahnya saja belum selesai dengan Calvin tapi? “Lalu
bagaimana dengan …?” belum Fu Zhen menyelesaikan ucapannya sudah dipotong oleh
suara Jun Jie dari seberang sana.
“Hanya sebentar saja,” seakan mengerti
maksud tujuan ucapan Fu Zhen berikutnya membuat Jun Jie dengan terpaksa harus
memotong ucapan gadis itu.
Kadang
Fu Zhen sendiri merasa sebal dengan pekerjaannya yang memang sensitif ini. Bisa
terjadi masalah secara tiba-tiba padahal sebelumnya sudah dipastikan bahwa
hasilnya akan sempurna. Yah, tapi memang ia harus bertanggung jawab sebagai
salah seorang yang ikut andil dalam pembaharuan Curiosity. Pemantauan yang ketat harus terus dilakukan agar
hasilnya nanti juga akurat. Fu Zhen menghela nafas kasar sebelum akhirnya
menjawab.
“Baiklah!
Kita kembali setelah kepulanganku dari liburan ini,” sahut Fu Zhen tanpa
menunggu balasan dari Jun Jie, ia langsung memutus sambungannya.
“Kau terlalu sulit untuk ditebak, mysterious
girl,” batin Danson yang sejak tadi sudah mengawasi Fu Zhen dan Calvin lalu
ia pergi begitu saja meninggalkan gadis itu.
***
Hari
ini dilewati dengan cukup berat bagi Fu Zhen dan Calvin. Berbeda dengan Jiro
dan Yi Chen yang selalu saja menempel berdua sejak kedatangan mereka saat makan
siang bahkan ketika tiba di villa pun pasangan ini sulit sekali dipisahkan.
“Ada
yang ingin kubicarakan,” Fu Zhen menginterupsi kemesraan Yi Chen dan Jiro yang
sedang asyik duduk berdua di taman belakang villa.
Seolah
mengerti jika dirinya sedang tidak diinginkan berada di sekitar kedua gadis
itu, Jiro pun mengalah. Tanpa perlu diminta oleh Fu Zhen yang sepertinya ingin
bicara sesuatu yang penting dengan kekasihnya. Ia menatap Yi Chen sebentar
sebelum pergi meninggalkan mereka berdua.
“Kenapa?”
tanya Yi Chen membuka suara.
“Setelah
liburan ini aku dan Jun Jie ge akan
kembali ke Amerika,” sahut Fu Zhen mendudukkan dirinya di sebelah Yi Chen.
“Apa
terjadi masalah yang serius di sana?” Fu Zhen tak langsung menjawab pertanyaan
dari sahabatnya itu, ia menghela nafas berat.
“Ya
begitulah dan mewajibkanku untuk ikut andil dalam perbaikan itu.”
“Lalu
kau akan pergi berapa lama? Kau akan kembali lagi kan?”
“Kuharap
tidak terlalu banyak yang harus diperbaiki lagi jadi aku masih bisa menikmati
masa cutiku,” lirih Fu Zhen, berat baginya jika harus pergi lagi sementara apa
yang menjadi tujuannya belum tercapai di sini.
“Yah,
kuharap masalahnya tidak terlalu berat jadi kau bisa cepat pulang,” sahut Yi
Chen dengan senyumnya berusaha menyemangati Fu Zhen yang hanya mengangguk
mengiyakan ucapan sahabatnya.
“Well, lupakan masalahku sebentar. Jadi
sekarang bagaimana kau dan Jiro?” terlihat rona merah muda menyebar di pipi Yi
Chen mendapat pertanyaan itu dari Fu Zhen, ia hanya bisa tersenyum menjawabnya.
“Sudahlah,
sebaiknya kita tidur sekarang!” ajak Yi Chen yang sudah tak bisa lagi menahan
rasa malunya, ia beranjak memasuki villa menuju kamarnya dan Fu Zhen yang tentu
saja diikuti juga oleh sahabatnya itu.
Sulit
bagi Fu Zhen untuk memejamkan matanya, sebuah kalimat yang diucapkan Yi Ru
siang tadi terus saja membayangi pikirannya. Apakah kali ini ia benar-benar
telah salah mengambil langkah?
“Seharusnya kau mengerti kondisiku
saat ini dan dengan menjauhkan dirimu dariku apa kau pikir itu akan membuatku
bisa mengingatmu?”
Ucapan
Calvin itu benar-benar tak bisa dihapus dari ingatannya. Berulang kali ia
mencoba untuk memejamkan mata dan mengusir perkataan Calvin tapi tak pernah
bisa. Bahkan sekarang hal itu berhasil membuat Fu Zhen merenungi segala
tindakannya. Namun, perlahan matanya mulai lelah dan akhirnya terpejam
sempurna. Fu Zhen terlalu mamaksakan dalam menggunakan kapasitas otaknya.
Waktu
seakan berputar begitu cepat hingga tanpa terasa hari telah kembali
berganti. Sinar-sinar sang fajar
menelusup masuk menggelitik mata kedua gadis yang masih terlelap di balik
selimut mereka. Keduanya mulai mengerjap dan perlahan mulai membuka mata dengan
sempurna.
Mereka
harus segera bersiap untuk liburan hari ini. Tujuan yang tak kalah menyenangkan
dari kemarin yaitu tempat yang akan menjadi objek wisata utama saat musim
panas. Sebuah tempat yang begitu menyejukkan dengan kelembutan pasirnya yang
menyapa kaki-kaki tak beralas juga nada-nada yang saling bersahutan dengan
ombak yang membentur karang, aroma air laut yang menyapa indera penciuman.
Pantai. Tentu tak ada yang bisa menolak ketika diajak ke tempat itu terlebih di
musim panas seperti ini.
Usai
sarapan mereka langsung meluncur menuju Qixingtan
Beach. Salah satu tempat yang wajib dikunjungi ketika berwisata di musim
panas, terletak di Desa Beipu, Xincheng di sebelah timur laut kota Hualien.
Terlihat semangat yang berkobar dari siswa-siswi FIHS sepanjang perjalanan
menuju pantai. Setibanya di sana mereka langsung terpecah, berlarian seperti
anak-anak elementary school yang baru
pertama kali berwisata dengan teman-temannya padahal kegiatan ini termasuk
rutin dilakukan oleh Fahrenheit
International High School.
“Kau
tidak ingin menghampiri kekasihmu itu?” tanya Fu Zhen pada Yi Chen yang
tertangkap basah sedang memerhatikan Jiro yang asyik dengan Calvin.
Yi
Chen sedikit ragu jika harus meninggalkan Fu Zhen sendirian untuk menghampiri
Jiro. Ia berpikiran untuk mengajak Fu Zhen bergabung tapi sepertinya tidak
mudah. Selain ada Calvin yang terus bersama Jiro, ada pula Genie yang masih
terus berusaha mendekati Calvin dan sesekali melempar pandangan sinis pada Fu
Zhen.
“Pergilah!
Aku akan menyusulmu nanti, sekarang aku ingin berjemur dulu di sana,” Fu Zhen
menunjuk sebuah kursi santai yang memang disediakan untuk berjemur bagi para
wisatawan, ia tahu jika Yi Chen merasa
tidak enak harus meninggalkannya seorang diri.
“Kau
yakin?” tanya Yi Chen memastikan yang disahuti anggukan mantap dari Fu Zhen
seraya senyum manis gadis itu.
Setelah
meletakkan tas yang ia bawa dan memastikan Fu Zhen sudah nyaman di tempat
berjemurnya barulah Yi Chen pergi. Ia berlari kecil menghampiri Jiro yang masih
asyik bersama Calvin. Menyadari kekasihnya datang menghampiri membuat senyum
leber tersemat di wajah tampan Jiro yang secara otomatis membuat gadis-gadis
histeris melihatnya.
“Tak
ingin bergabung dengan mereka?” sebuah suara berat masuk ke telinga Fu Zhen, ia
kenal pemilik suara ini.
Fu
Zhen tak menjawab, ia masih terus memperhatikan ketiga orang itu yang asyik
bermain kejar-kejaran di pantai seperti anak kecil. Kadang mereka tertawa
bersama, membuat iri siapapun yang melihat. Orang yang bertanya padanya tadi
duduk di kursi sebelah Fu Zhen, ikut memperhatikan objek yang sama.
“Kau
ingin kembali seperti masa itu?” pertanyaan terlontar dari bibir Fu Zhen tanpa
menjawab pertanyaan sebelumnya dari orang di sebelahnya yang tak lain adalah
Danson.
“Sulit
bagiku untuk kembali dengan mereka. Kesalahanku yang terlalu egois hingga
membuat keretakan hubungan kami,” sahut Danson lirih.
“Penyesalan
memang selalu datang terlambat tapi jika kau masih memiliki kesempatan untuk
memperbaikinya maka cobalah! Tak ada yang tahu hasilnya sebelum mencoba bukan?”
“Kau
tahu? Masalah kita sama Fu Zhen tapi kau belum menyadarinya sedangkan aku sudah
tahu keegoisanku. Jadi sebaiknya kau juga mencoba memperbaiki sebelum akhirnya
kau menyesal sepertiku karena kesempatanmu jauh lebih besar dibandingkan
denganku,” perkataan Danson seakan menyiram Fu Zhen dengan air dingin, ia
mengerti maksud pria ini.
Mereka
hanya diam, memikirkan penyelesaian masalah masing-masing. Berharap segalanya
bisa kembali baik-baik saja tanpa memperbesar kadar penyesalan mereka nantinya.
Keheningan di antara keduanya pecah saat suara berat Danson kembali terdengar.
“Kau
akan pergi lagi?” Fu Zhen tak langsung menjawab, ia lebih memilih diam daripada
membocorkan rahasia yang memang harus ditutupi. “Aku mendengarnya kemarin di
air terjun,” lanjut Danson menyadari bungkamnya Fu Zhen.
“Tak
lama,” jawab Fu Zhen singkat lalu beralih menatap orang yang bicara dengannya
sejak tadi. “Dan kau sendiri, berusahalah!” lanjutnya seraya menepuk pundak
Danson lalu beranjak menghampiri Yi Chen yang memanggilnya.
“Semoga
sukses!” balas Danson sedikit keras karena Fu Zhen sudah berjalan lebih dulu.
***
Tanpa
terasa liburan mereka berakhir hari ini dan sebelum kembali pihak sekolah
mengajak anak-anak untuk berbelanja sekadar membeli buah tangan. Antusiasme
jelas tampak memancar dari wajah anak-anak itu. Mereka sudah bertekad akan
menghabiskan uang yang sudah diberikan orang tua mereka untuk berbelanja di
sini.
Sekitar
tiga jam waktu yang dihabiskan untuk membeli buah tangan. Sudah saatnya mereka kembali
ke Taipei sesuai dengan jadwal yang sudah diatur. Begitupula Fu Zhen yang sudah
ditunggu untuk meluncur langsung ke Amerika.
Fu
Zhen tiba di apartemennya tepat pukul tujuh malam dan di sana sudah ada Jun Jie
yang dengan senantiasa menunggu kepulangannya. Yi Chen pun ikut ke apartement
Fu Zhen untuk mengantarkan kakak serta sahabatnya langsung ke bandara. Walau
merasa sangat lelah tapi Fu Zhen memiliki tanggung jawab besar dalam proyek
ini.
“Cepat
kembali!” Yi Chen memeluk bergantian Fu Zhen dan Jun Jie saat pemeberitahuan keberangkatan
menuju Amerika sudah terdengar.
Pesawat
mereka lepas landar tepat jam sebelas malam dan butuh waktu sekitar sebelas jam
perjalanan menuju Amerika. Fu Zhen yang memang sudah terlalu lelah membuatnya
langsung terlelap saat pesawat baru sepuluh menit terbang. Jun Jie yang melihat
itu hanya menggeleng seraya tersenyum manis memperlihatkan cekungan di pipinya
yang semakin menambah pesona pria itu di mata para wanita. Ia menarik kepala Fu
Zhen perlahan, menyandarkan di bahunya dengan posisi senyaman mungkin.
Washington
Dulles Airport - Washington DC, United States (10.00 p.m)
Akhirnya
pesawat tiba di bandara internasional Washington
Dulles, Amerika Serikat. Fu Zhen
dan Jun Ji baru saja keluar dari pintu kedatangan dan sudah disambut oleh
seorang supir khusus yang memang sengaja dipersiapkan untuk menjemput keduanya.
Mereka
langsung diantar ke Hyatt Dulles Hotel
karena melihat waktu tiba mereka yang sudah cukup larut. Besok pagi sekali
keduanya sudah harus bersiap untuk berangkat lagi ke kantor dan menyelesaikan
tugas. Perjalanan panjang yang sangat melelahkan.
National
Aeronautics and Space Act (NASA) – Wahington DC (US)
Tepat
pukul delapan pagi ini Fu Zhen dan Jun Jie atau yang akrab dipanggil JJ saat di Amerika sudah menginjakkan kakinya di
kantor NASA. Mereka langsung menuju ke sebuah ruangan yang akan menjadi tempat
diskusi mereka sebelum menuju tempat rover berada.
“Welcome home! I miss you, baby!” ujar
seorang pria ketika melihat sahabatnya kembali.
“I miss you too Aaron,” sahut Fu Zhen
memeluk Aaron yang memang sudah merentangkan tangannya menanti gadis itu.
Mereka
tak menghiraukan JJ yang juga berada di sana dan memerhatikan keduanya sambil
memutar mata malas. Well, kedua
sahabat ini memang sulit untuk dipisahkan jika sudah bertemu. Usia yang sama
serta berasal dari negara yang sama pula membuat keduanya cepat akrab.
“Where’s professor?” tanya JJ yang mulai
gerah dengan tingkah keduanya.
“Ah
ya, aku hampir lupa. Kalian sudah ditunggu oleh Professor di dalam ruangannya,”
sahut Aaron menggamit lengat Fu Zhen dan mengajaknya masuk ke dalam ruangan
yang dimaksud. “They’re here, prof.”
Seseorang
yang dipanggil professor oleh pria berwajah dingin bernama Aaron itu
mengalihkan perhatian dari kegiatannya semula yang sedang memerhatikan kertas-kertas.
Isinya tak lain dan tak bukan berupa gambar-gambar rakitan dari rover yang
dikatakan bermasalah.
“Kalian
sudah tiba rupanya, lebih cepat dari yang kuperkirakan,” sahut Professor itu.
“Dia
langsung menarikku ke bandara saat baru pulang liburan ge,” adu Fu Zhen dengan nada manjanya.
Aneh
mendengar Fu Zhen memanggil professor dengan nada manja dan sebutan gege? Well, sebenarnya usia professor itu hanya terpaut tiga tahun lebih
tua dari JJ. Selain itu, professor juga berasal dari Taiwan, sama sepertinya.
“Jangan
membuat adik kesayanganku ini kelelahan Jun Jie,” nada bicara professor itu
terdengar sangat berwibawa namun sebenarnya terselip maksud hanya bercanda.
“Yah,
selalu akhirnya aku yang disalahkan,” gerutu Jun Jie pura-pura merajuk.
“Kau
tak ingin memelukku?” Professor tersenyum pada Fu Zhen yang langsung berhambur
masuk ke pelukannya.
“I really miss you daddy Zun,” ujar Fu
Zhen disela pelukan mereka.
“Miss you too, princess.”
Daddy?
Yah, professor tampan berkacamata ini sudah memiliki seorang putri yang baru
berusia dua tahun. Sosok yang sangat diidolakan oleh Fu Zhen sendiri karena
selain tampan, pria ini sudah mendapat gelar professor di usia dua belas tahun
karena kejeniusannya. Professor Zun sekarang sudah berusia dua puluh tujuh
tahun.
Fu
Zhen sendiri mengenal Zun saat masih kuliah di MIT. Zun merupakan dosennya dulu
yang merangkap sebagai professor juga di NASA. Ia pun kenal dengan Aaron karena
pria imut nan dingin itu merupakan asisten Professor Zun.
“So, what’s worng with the rover, prof?”
tanya JJ yang sudah gerah menyaksikan acara berkangen ria ini.
“Okay! Follow me, please!” sahut
professor Zun mengerti dengan raut kesal JJ.
Tak
sesuai dengan dugaan sebelumnya ternyata Fu Zhen dan JJ langsung dibawa ke
tempat Curiosity Rover berada. Mereka
bisa melihat orang-orang yang sibuk dengan tugasnya masing-masing dalam proses
perbaikan rover ini.
“Apa
yang salah?” tanya Fu Zhen sambil matanya terus memperhatikan rover itu.
“Pendaratan
tidak sempurna, kita hampir saja kehilangan seorang astronot,” Aaron menjawab
pertanyaan Fu Zhen sedangkan Professor Zun bersama JJ sudah memilih untuk lebih
meneliti rover dari jarak dekat.
Fu
Zhen serta Aaron juga ikut lebih meneliti lagi kekurangan apa yang sebenarnya
terjadi pada rover ini. Pendaratan yang tidak sempurna memang sangat berakibat
fatal. Bisa saja hal itu mengundang perhatian makhluk asing untuk mendekat
karena suara yang ditimbulkan dari rover ini. Curiosity sendiri saat
percobaannya didampingi oleh seorang astronot yang menggunakan pesawat luar
angkasa lainnya dan sudah lebih dulu mendarat.
“Mungkin
ada kesalahan pada salah satu kerangkanya dan tidak terpasang dengan tepat,”
ujar Fu Zhen setelah mereka mengamati rover itu lebih teliti.
“Sebaiknya
kita ke ruanganku untuk membahas lebih lanjut lagi,” ajak Professor Zun yang
langsung diikuti oleh Aaron, Fu Zhen, dan JJ.
Fahrenheit
International High School – Taipei, Taiwan
Sudah
dua bulan berlalu sejak berakhirnya liburan musim panas. Tak ada satu pun yang
tahu kabar tentang Fu Zhen yang tiba-tiba saja menghilang kecuali Yi Chen
tentunya. Namun, gadis itu memilih diam dan menjaga rahasia sahabatnya dengan
baik.
Berulang
kali pula Jiro menanyakan keberadaan Fu Zhen pada Yi Chen tapi kekasihnya itu
tetap memilih bungkam. Jiro merasa kasihan dengan Calvin yang terlihat sangat
kacau selama dua bulan ini. Terlebih dengan keberadaan Genie yang mengambil
kesempatan menempel terus pada Calvin membuat pria itu semakin pusing.
“Ayolah
baobei, beritahu aku di mana Fu Zhen!
Apa kau tidak kasihan melihat Calvin yang kacau seperti itu?” Jiro merengek
pada Yi Chen sambil menunjuk ke arah Calvin yang benar-benar terlihat frustasi
dengan mengacak-ngacak rambutnya.
Ada
sebuah alasan yang membuat Calvin sangat frustasi seperti itu. Yah, Jiro sudah
mengatakan tentang Fu Zhen yang sebenarnya adalah sahabat kecilnya dan betapa
kecewanya Fu Zhen karena Calvin tidak mengingatnya di pertemuan pertama mereka
setelah sepuluh tahun berpisah. Terlebih bagaimana Fu Zhen yang dengan keras
kepalanya hanya member tempo sepuluh bulan bagi Calvin untuk kembali
mengingatnya.
Tapi
bagaimana ia bisa ingat jika orang yang berkaitan tak bersamanya? Calvin
benar-benar tak ingin merasa kehilangan lagi. Ia selalu merasakan kerinduan
yang teramat dalam tiap kali melihat Fu Zhen. Dan sekarang lebih parahnya lagi
Calvin merasa seolah separuh nafasnya telah hilang, oksigen yang biasa ia hirup
terasa sangat segar kini sangat menyesakkan.
“Zhende duibuqi, wo bu ke yi shuo,” sahut
Yi Chen dengan ekspresi menyesalnya dan membuat Jiro hanya bisa menghela nafas
kasar.
Mereka
saat ini sedang berada di kantin menikmati makan siang. Saat tiba-tiba saja
sebuah informasi yang luar biasa mengejutkan seluruh warga FIHS kecuali Yi
Chen. Mereka menganga melihat dan mendengar berita yang disiarkan.
“Pagi ini NASA memberi pengumuman
melalui situs resminya bahwa Curiosity Rover siap untuk diluncurkan ke Mars.
Mungkin masih banyak yang belum mengetahui tentang Curiosity yang merupakan
robot penjelajah berteknologi tinggi khusus untuk menjelajahi planet Mars. NASA
sebelumnya sudah pernah mengirim Curiosity ke Mars dan untuk mendukung
penelitian terhadap planet tetangga itu maka Curiosity akhirnya diperbaharui.
Kini semua proses sudah selesai dan Curiosity siap kembali diluncurkan. Kita
dapat berbangga diri sebagai warga Taiwan karena penelitian kali ini dilakukan
oleh professor-professor berbakat dari Taiwan. Mereka adalah Professor Zun yang
sudah menyelesaikan gelar masternya di MIT pada usia dua belas tahun dan
dinobatkan sebagai professor termuda saat itu. Selain beliau ada juga Aaron,
asisten Professor Zun yang tak kalah jeniusnya. Kemudian pria berusia dua puluh
empat tahun, putra sulung dari pengusaha hebat di negara kita, Lin Jun Jie atau
bisa juga dipanggil JJ. Terakhir satu-satunya professor wanita yang ikut andil
dalam penelitian ini. Professor Hebe, putri dari pengusaha nomor satu di Taiwan
dan sudah memiliki berbagai cabang di seluruh dunia. Beliau dikenal juga dengan
nama Tian Fu Zhen, pemilik dari sekolah elit Fahrenheit International High
School yang sudah diwariskan oleh mendiang kakeknya. Sungguh anak-anak bangsa
yang membanggakan negara. Sekian breaking news dari kami dan selamat
menyaksikan acara berikutnya.”
Gambar-gambar
yang sejak tadi ikut tampil diiringi dengan suara dari penyiar berita itu ikut
menghilang. Mereka sangat kenal dengan wajah sosok yang dikatakan sebagai
Professor Hebe itu. Seorang yang selama ini mereka anggap sebagai gadis misterius
adalah seorang professor dan pemilik dari sekolah ini. Astaga!
Keheningan
melanda suasana kantin FIHS, mereka masih shock dengan berita yang baru saja
ditayangkan oleh salah satu stasiun televisi. Jadi selama ini ada seorang
professor hebat di tengah-tengah mereka? Sulit dipercaya.
“Kau
sudah tahu tentang ini semua?” tanya Jiro pada kekasihnya itu yang hanya
menunduk tak berani menatap matanya.
“Begitulah.
Aku harus menutupi rahasia besar dari kakak dan sahabatku. Maaf,” Yi Chen masih
menundukkan kepalanya, merasa bersalah pada Jiro dengan menyimpan rahasia besar
ini sendirian.
“Hei,
jangan seperti ini! Kau tidak salah sayang, semua yang kau lakukan memang
benar. Rahasia sebesar itu tentu tidak boleh dibocorkan pada siapapun, aku
mengerti,” ujar Jiro penuh kelembutan, ia tahu Yi Chen pasti takut dirinya akan
marah tapi sebenarnya apa yang harus membuat Jiro emosi?
Bukankah
Yi Chen sudah melakukan hal yang banar? Itulah isi pikiran Jiro jadi ia tak
berhak untuk marah pada kekasihnya. Sebaliknya ia merasa bangga pada Yi Chen
yang bisa menjaga rahasia sebesar ini sendirian.
***
Beberapa
hari setelah kabar peluncuran Curiosity itu, Fu Zhen dan Jun Jie kembali ke
Taiwan. Ia masih memiliki waktu cuti beberapa bulan lagi. Walau mungkin sudah
tak bisa ke sekolah lagi karena rahasianya sudah terbongkar tapi setidaknya ada
satu hal lagi yang membuat dirinya harus tetap bertahan di Taiwan.
Fu
Zhen sudah memutuskan untuk pergi ke FIHS, mencari Calvin. Seperti yang pernah
dikatakan oleh Danson, mungkin memang sebaiknya ia menekan rasa egonya sebelum
penyesalan datang menghampiri. Fu Zhen berniat menceritakan segala hal tentang
mereka dulu pada Calvin setelah pulang sekolah.
Sepertinya
ia tepat waktu melihat dari anak-anak FIHS yang baru mulai keluar gerbang
sekolah. Tak sedikit dari anak-anak itu yang memerhatikannya lalu tersenyum. Fu
Zhen pun membalas senyuman itu. Ia baru saja berniat masuk gerbang sekolah saat
matanya tanpa sengaja melihat seorang anak kecil berlari ke tengah jalan
berniat mengambil bolanya.
“Astaga!”
pekiknya seraya langsung berlari dan menggendong anak kecil itu ke pinggir
jalan. “Tunggu di sini sebentar ya, jiejie
yang akan ambil bolanya,” anak itu mengangguk.
Tanpa
menyadari ada sepasang mata yang memperhatikannya dengan tatapan membunuh dari
dalam mobil. Fu Zhen terus melangkah ke tengah jalan untuk mengambil bola anak
kecil itu. Kejahatan bisa dilakukan oleh siapapun saat matanya gelap akan
kebencian.
“Kau
akan menyesal,” sebuah mobil melaju kencang ke arahnya, dengan sengaja berniat
menabrak Fu Zhen yang sedang lengah.
“Oh, shit!” seorang pria langsung berlari
ke arah Fu Zhen saat tanpa sengaja melihat sebuah mobil yang sangat ia kenal
melaju kencang berniat menabrak gadis itu.
BRAKK
Suara
benturan keras terdengar hingga ke dalam gedung FIHS. Semuanya yang memang sudah
berniat untuk pulang sontak terkejut melihat tubuh seorang yang sangat mereka
kenal berlumuran darah di tengah jalan. Fu Zhen yang menjadi calon korban
terlihat sangat shock dengan kejadian barusan.
“Noooo
…,” ia berteriak histeris mengejutkan seorang pria yang sebenarnya melihat
kejadian itu sejak awal tapi tidak sempat menolong karena mendadak tubuhnya
kaku tak bisa digerakkan sedikit pun.
Bayangan-bayangan
aneh muncul dan berkelebat di otak pria itu. Ia masih diam hingga tak lama
kemudian mengerjap dan segera berlari menghampiri tubuh yang terbaring di
tengah jalan serta Fu Zhen yang histeris.
“Cepat
telpon ambulans!” perintahnya pada siapapun yang berada di lokasi kejadian, ia
memeluk tubuh Yi Chen yang bergetar hebat.
“Apa
yang terjadi?” dua sosok lainnya muncul dengan susah payah dari kerumunan itu
dan menatap miris tubuh yang terbaring lemah itu. “Danson!” lirihnya
Yah,
pria yang menolong Fu Zhen tak lain adalah Danson. Sementara pria yang kini
masih terus berusaha menenangkan kehisterisan Fu Zhen dengan mendekap erat
tubuh gadis itu adalah Calvin.
Ambulans
akhirnya datang dan tubuh Danson langsung digotong masuk ke ambulans. Karena
shock hebat yang dialaminya membuat Fu Zhen pingsan dan juga ikut dilarikan ke
rumah sakit. Calvin serta Jiro dan Yi Chen yang tadi baru saja datang ikut
masuk ke ambulans untuk mengantar mereka.
Setibanya
di rumah sakit, Danson langsung dibawa ke IGD karena kondisinya yang bisa
dibilang sangat parah. Fu Zhen sendiri yang masih pingsan ikut dirawat dalam
kamar VIP. Semuanya terlihat sangat cemas menanti kemunculan dokter dari balik
ruang operasi. Mereka berharap ada kabar baik tentang keadaan Danson. Sekitar
tiga jam berada dalam ruang operasi akhirnya dokter keluar.
“Bagaimana
keadaannya?” tanya Jiro
“Pasien
tidak mengalami luka dalam yang serius, ia patah tulang kaki serta ada
keretakan pada tulang punggungnya jadi harus tetap dilakukan perawatan
intensif,” sahut dokter tersebut.
“Kapan
ia bisa sadar?” kini Calvin yang bertanya, sangat terdengar nada khawatir dari
suaranya.
“Kami
belum tahu pasti, tergantung dari kinerja obat yang kami suntikkan. Jika
perkembangan pasien cukup baik mungkin besok ia sudah sadar. Kami akan
memindahkannya ke ruang perawatan jadi kalian bisa menjenguk pasien di sana,”
jelas dokter itu seraya pergi meninggalkan Calvin dan Jiro yang masih berada di
depan ruang IGD sementara Yi Chen menemani Fu Zhen.
Hari
sudah berganti dan matahari yang semakin meninggi membangunkan gadis cantik
dari tidurnya setelah pingsan kemarin. Ia mengerjap perlahan dan menangkap
cahaya yang begitu menyilaukan mata. Pandangannya beralih ke sekeliling ruangan
berwarna putih ini hingga berhenti di sebuah sofa dan menemukan seorang pria
yang tertidur di sana.
“Bear Boy,” lirihnya agar tak
membangunkan pria yang tak lain adalah Calvin itu.
Entah
mendengar suara lirih Fu Zhen atau tidak tapi kini Calvin sudah membuka matanya
sempurna. Ia menghampiri ranjang Fu Zhen dengan senyum lembut yang menenangkan.
Terlihat sekali raut kelegaan terpancar di wajahnya.
“Akhirnya
kau bangun juga,” ujar Calvin menggenggam erat tangan gadis itu.
“Danson?”
Fu Zhen menyebutkan nama penyelamatnya kemarin.
“Ia
masih belum siuman tapi tidak terjadi hal yang serius jadi kau tenag saja,”
jawab Calvin.
Pintu
kamar rawat Fu Zhen terbuka dan memunculkan Yi Chen serta Jun Jie di sana.
Mereka mendekati ranjang, memastikan keadaan Fu Zhen sudah baik-baik saja.
Terlihat sekali raut khawatir terpancar dari wajah Jun Jie ketika baru memasuki
ruangan kini berganti dengan ekspresi kelegaan.
“Kau
baik-baik saja?” tanya Jun Jie yang dijawab dengan anggukan oleh Fu Zhen.
“Jiro
tadi mengatakan jika Danson sudah sadar,” ujar Yi Chen seraya menatap Calvin
yang menganggukkan kepalanya mengerti.
“Aku
pergi dulu,” Calvin pun keluar dari ruangan Fu Zhen menuju ruang rawat Danson,
ia bisa melihat betapa mengenaskannya keadaan Danson saat ini baginya. “Berengsek!”
makinya pada pasien rumah sakit yang tengah tersenyum setan padanya.
“Bukankah
aku hebat?” Danson masih mempertahan senyum yang sangat menyebalkan menurut
Calvin, pria itu mendengus kesal karena sahutan Danson.
“Yah,
kau luar biasa brother,” puji Jiro memberi
two thumbs tepat di hadapan Danson.
Mereka
diam, keadaan menjadi canggung mendadak. Sebenarnya secara tak langsung
hubungan mereka sudah membaik tapi belum ada pernyataan resmi yang keluar dari
bibir masing-masing. Namun, mungkin memang lebih baik seperti itu.
“Bagaimana
dengannya?” seketika keadaan berubah menjadi serius dengan lontaran pertanyaan
dari Danson.
“Mendapat
hukuman yang setimpal,” sahut Calvin malas, tentu ia tahu maksud Danson adalah
gadis tak punya hati yang dengan sengaja berniat menghilangkan nyawa seseorang.
“Aku
sungguh tak menyangka Genie melakukan hal hingga seperti itu,” ujar Jiro.
“Dia
memang gadis iblis,” Danson menimpali dengan nada ketusnya.
Suasana
dalam ruang rawat Danson pelahan mulai menghangat. Sepertinya ketiga pria ini
sudah bisa salin mengerti diri masing-masing. Namun, hal yang berbeda terjadi
pada ruang rawat Fu Zhen.
Setelah
Yi Chen meninggalkan ruangan untuk membeli sarapan mendadak keheningan melanda.
Jun Jie benar-benar merasa jika Fu Zhen tak aman lagi berada di Taiwan ini.
Kejadian kemarin membuat pria itu mendadak posesif.
“Ikutlah
denganku kembali ke Amerika Fu Zhen!” ajak Jun Jie yang langsung ditanggapi
dengan gelengan kepala oleh Fu Zhen.
“Aku
tidak bisa sebelum semuanya benar-benar berakhir,” sahut Fu Zhen.
“Tapi
kau tidak aman berada di sini. Aku ingin melindungimu Fu Zhen, bagaimana pun
juga kau adalah gadis yang kucintai,” tanpa sengaja akhirnya Jun Jie
mengungkapkan isi hatinya.
Ucapan
Jun Jie sukses membuat Fu Zhen terkejut. Ia selalu menganggap pria ini sebagai
kakak laki-laki yang bisa melindunginya tidak lebih. Bagaimana mungkin Jun Jie
dengan mudahnya mengatakan hal itu? Seakan sadar dengan ucapannya barusan
membuat Jun Jie dengan terpaksa mengungkapkan perasaannya.
“Aku
akan kembali ke Amerika besok,” ujar Jun Jie menatap Fu Zhen penuh harap.
“Maafkan
aku,” Fu Zhen sangat mengerti arti tatapan itu tapi ia tak bisa member harapan
lebih pada orang yang selama ini selalu ia anggap sebagai kakaknya sendiri.
“Yah,
aku mengerti,” Jun Jie beranjak dari duduknya, ia tak bisa terus derada di
dekat Fu Zhen sebelum berhasil mengendalikan perasaannya.
“Tapi
…,” ucapan Fu Zhen terpaksa harus dipotong karena mungkin kalimat yang
selanjutnya keluar dari bibir manis gadis itu adalah sesuatu yang menyakitkan
baginya.
“Tak
perlu kau pikirkan. Aku pergi,” Jun Jie melangkah ke pintu tapi sebelum
benar-benar pergi ia harus mengatakan ini pada Fu Zhen agar tidak membuat gadis
itu khawatir. “Aku hanya perlu waktu untuk menenangkan diri princess dan saat semua sudah kembali
baik, kita bisa kembali seperti semula. Aku akan berusaha menjadi kakak yang
terbaik untukmu,” lanjutnya dan menghilang di balik pintu itu.
Tak
lama setelah Jun Jie keluar dari ruangannya, Calvin masuk dan menatap lekat
gadis itu. Ia mendengar semua pembicaraan antara Jun Jie dan Fu Zhen. Hatinya
merasa sedikit lebih tenang mengetahui gadis ini lebih memilih bertahan di
Taiwan daripada ikut dengan Jun Jie ke Amerika.
“Barbie Star!” panggilan Calvin terdengar
berbeda dari biasanya, tak ada keraguan yang tersirat dari nada suaranya.
“Kau?”
Fu Zhen ragu dengan pemikirannya tapi ia hanya berharap jika itu benar.
“Yah,
aku sudah ingat semuanya,” jawab Calvin meyakinkan Fu Zhen.
Karena
kecelakaan kemarin entah kenapa membuat memori abu-abu yang dulu terlihat samar
berubah menjadi sangat jelas dalam pikirannya. Kepingan-kepingan puzzle yang
sempat berantakan berhasil tertata rapi kembali tanpa celah sedikit pun. Calvin
seakan mengingat bagaimana kejadian saat dulu ia mengalami kecelakaan dan melihat
sosok malaikat kecil yang tersenyum manis padanya. Sangat cantik. Malaikat
kecil itu ia sadari jika gadis dihadapannya saat ini adalah sosok yang sama.
“Kenapa
lama sekali?” isak tangis Fu Zhen akhirnya pecah, ia benar-benar sulit untuk
sekadar mengontrol emosinya saat ini.
“Xie xie,” entah kenapa rasanya Calvin
sungguh ingin berterima kasih pada Fu Zhen karena sudah hadir dalam hidupnya.
“Aku
membencimu!” Fu Zhen sendiri tak tahu harus berkata apa dan kalimat itu
meluncur begitu saja dari bibirnya.
“Tapi
kau juga mencintaiku, Barbie Star,” sebuah
pernyataan dari Calvin yang seolah menegaskan perasaan Fu Zhen padanya. “Karena
aku juga sangat mencintaimu,” lanjutnya seraya menarik tubuh mungil Fu Zhen
dalam pelukannya.
Emosi
yang menyampaikan segala halnya tanpa kata-kata. Mereka melampiaskan kerinduan
dengan dekapan erat, berharap takkan pernah terpisah lagi. Material lembut
keduanya bertemu, menghantarkan cinta mereka yang entah bisa diibaratkan dengan
apa?
Keanehan
hidup Bear Boy dan Barbie Star ini terkadang memang
terlihat tidak masuk akal tapi banyak hal di dunia yang mustahil menjadi
mungkin saja terjadi. Tak ada yang tahu bagaimana takdir manusia selain Tuhan.
Ketika ia mengambil ingatan seseorang dan mengembalikannya dengan cara yang
sama entah mengapa terasa lebih indah. Walau mausia mengharapkan sesuatu tanpa
adanya usaha maka semua akan sia-sia. Dan ketika usaha yang dilakukan
memperoleh hasilnya maka kebahagiaan akan menghampiri seuai dengan takdir yang
telah ditentukan.
Forget?
Never! Sebuah fiksi yang bermaksud menyiratkan jika keoptimisan seseorang tak
selalu berdampak baik. Ia berjanji tak akan melupakan sesuatu yang penting bagi
dirinya. Tetapi semua tak sesuai dengan
yang pernah ia ucapkan. Namun, sebuah cara unik untuk kembali mengingatnya
adalah cara yang sama ketika dulu melupakannya.
~ THE END ~
No comments:
Post a Comment