Saturday, 11 October 2014

Forget? Never! [Part 6 - Last Chapter]



Title:               Forget? Never!
Author:          TaraChun
Genre:            Friendship, Romance

Main Cast:     Calvin Chen as Chen Yi Ru
                        Hebe Tian as Tian Fu Zhen
Other Cast:    JJ Lin as Lin Jun Jie
                        Danson Tang as Tang Yu Zhe
                        Jiro Wang as Wang Da Dong
                        Genie Zhuo as Zhuo Wen Xuan
                        Ariel Lin as Lin Yi Chen
Cameo:           Wu Chun as Zun (ep.6)
                        Yan Ya Lun as Aaron (ep.6)

Older Post : Part 1Part 2Part 3Part 4Part 5


Disclamer:      Saya membuat cerita akan selalu berkaitan dengan Fahrenheit karna saya amat sangat mengagumi mereka. Buat yang baca harap komen kritik dan saran nya. Silahkan mengcopy tapi jangan mengakui itu karya kalian. Makasih.




Sirius? Special? Apa maksudnya?” gumam Calvin, sesuatu yang tak asing menyergapi dirinya.

Calvin begitu putus asa karena tidak mengetahui apa maksud ucapan Fu Zhen tadi padahal ia yakin jika hal itu berkaitan dengan dirinya. Entah, keyakinan darimana tapi yang jelas semua yang berhubungan dengan Fu Zhen selalu membuatnya ingin tahu dan memiliki keyakinan jika di masa lalu mereka memiliki hubungan yang sulit untuk dijelaskan oleh otaknya sendiri.

Lelah berpikir, akhirnya Calvin memutuskan untuk masuk ke kamarnya. Sementara Danson yang memang sejak awal mengetahui keberadaan Calvin yang menguping pembicaraannya dengan Fu Zhen hanya bisa mendengus kasar. Ia tak habis pikir dengan jalan pikir kedua orang itu terutama gadis misterius menurutnya yang bernama Tian Fu Zhen.

“Aku sudah berusaha,” gumamnya seraya masuk ke kamar.

***

Matahari menunjukkan pesonanya di saat bulan mulai tenggelam. Hari telah berganti dan liburan musim panas yang sebenarnya baru di mulai. Semuanya sudah berkumpul di meja makan. Setelah sarapan, mereka berencana langsung pergi berwisata.

Tujuan mereka adalah tempat yang menjadi primadona di Hualien ini, yaitu Taroko National Park. Banyak hal menarik yang bisa mereka lihat di sana. Terlebih objek wisata ini merupakan tujuan utama para wisatawan yang datang ke Hualien.

Mereka tak akan mau melewatkan keindahan alam yang menyajikan panorama yang pasti sulit dilihat jika berada di kota padat seperti Taipei. Di sana mereka dapat menyaksikan air terjun bercabang, sungai yang dibentangi oleh jembatan gantung serta kuil cantik di tepi jurang yang dalam.

Setibanya di Taroko National Park, anak-anak itu berhamburan keluar bus menuju tempat yang mereka inginkan untuk melihat keindahannya. Namun, ternyata ada satu anak yang memiliki tujuan berbeda di sini.

“Bisa ikut jalan-jalan denganku?” Jiro menghampiri Fu Zhen dan Yi Chen yang tengah asyik membicarakan tujuan mereka ingin mengunjungi tempat yang mana.

Tentu Jiro tak sendirian, Calvin ikut bersamanya untuk menemani Fu Zhen. Yah, Jiro mengajak Yi Chen untuk jalan-jalan bersama melihat pemandangan indah di sini. Hanya berdua untuk melancarkan aksinya. Yi Chen melihat kea rah Fu Zhen meminta persetujuan sahabatnya itu yang dijawab dengan anggukan singkat.

“Baiklah,” sahut Yi Chen.

Akhirnya Jiro dan Yi Chen jalan berdua, meninggalkan Fu Zhen dan Calvin dalam kecanggungan. Mereka tak tahu harus membahas apa untuk memulai percakapan. Lebih tepatnya Calvin yang merasakan hal itu karena Fu Zhen terlihat santai.

Menunggu Calvin yang masih tetap bungkam membuat Fu Zhen bosan. Ia berniat pergi saja tapi baru selangkah saja sudah terasa jika ada yang mencekal tangannya. Gadis itu menoleh dan berhasil membuat Calvin salah tingkah.

“Jangan pergi!” pinta Calvin memasang ekspresi memohonnya pada Fu Zhen sementara gadis itu hanya memutar bola matanya.

“Aku hanya ingin mengikuti mereka,” Fu Zhen menunjuk ke arah Jiro dan Yi Chen yang semakin tak terlihat.

“Sebaiknya biarkan saja mereka berdua dulu,” ujar Calvin yang masih ingin lebih lama berdua dengan Fu Zhen dan bermaksud memberikan kesempatan pada sahabatnya untuk bisa lebih dekat dengan Yi Chen.

“Yah, aku tahu Jiro itu pria baik tapi bagaimana pun juga saat ini sahabatku sedang bersama dengan playboy FIHS. Apa aku bisa percayakan Yi Chen pada Jiro?” tanya Fu Zhen yang sebenarnya ia sudah tahu sendiri jawaban itu.

“Kali ini kau bisa percaya pada Jiro. Seorang pria tidak akan pernah ingin menyakiti gadis yang dicintainya,” sahut Yi Ru dengan tatapan sendunya berharap Fu Zhen mengerti.

Aku mengerti maksudmu Calvin tapi sayangnya terkadang ego seseorang tak bisa dikontrol dengan baik. Kuharap takdiri tidak mempermainkan kita,” batin Fu Zhen menanggapi  ucapan Calvin tanpa menyuarakannya, cukup ia yang tahu bagaimana hatinya saat ini.

Berbeda dengan Fu Zhen dan Calvin yang tampak kaku. Jiro dan Yi Chen asyik membicarakan berbagai macam hal selama jalan-jalan mereka. Keduanya berhenti di sebuah jembatan dekat kuil. Mereka kini terdiam, tampak keduanya merasa canggung satu sama lain. 

Beberapa kali Jiro berusaha untuk membuka suaranya tapi selalu gagal. Ia tak tahu kenapa segugup ini ketika bersama Yi Chen bahkan sudah berulang kali Jiro menghela nafas kasar berusaha menenangkan dirinya. Sementara Yi Chen terlihat sangat menikmati pemandangan yang tersuguh di hadapannya.




“Euhmm … Yi Chen!” panggil Jiro yang hanya disahuti deheman oleh gadis itu. “Aku …,” suara Jiro tercekat, entah kenapa sulit sekali baginya untuk mengeluarkan kata-kata.

Yi Chen akhirnya menoleh karena ucapan Jiro yang menggantung. Aku? Maksudnya? Baru kali ini Yi Chen melihat Jiro berperilaku aneh seperti sekarang. Biasanya pria ini selalu aktif bicara, lalu kenapa sepertinya Jiro sulit untuk berkata-kata?

“Kau ingin bicara apa?” tanya Yi Chen.

“Sebenarnya aku … euhmm …. A – aku menyukaimu,” akhirnya Jiro bisa mengucapkannya dan terlihat ia bisa menghela nafas lega.

Tak ada sepatah kata pun keluar dari mulut Yi Chen. Ia bingung dengan ucapan Jiro. Apakah pria ini serius atau hanya ingin main-main saja dengannya seperti yang dilakukan Danson dulu? Jujur Yi Chen masih sedikit trauma untuk menjalin hubungan terlebih dengan pria yang sudah dicap playboy seperti Jiro. Yah, walaupun sebenarnya sampai saat ini ia masih mengagumi sosok Danson.

Yi Chen masih membeku di tempatnya, bingung harus menjawab apa. Ia sendiri bahkan tak tahu bagaimana perasaannya saat ini? Apakah ia bisa mempercayai Jiro? Yi Chen takut jika lagi-lagi ia tersakiti oleh seorang playboy.

“Aku …,” perkataannya masih menggantung, terlihat jelas binary keraguan di matanya.

“Mungkin menurutmu aneh tapi aku jujur, baru pertama kali merasakannya,” Jiro berusaha meyakinkan Yi Chen tentang perasaannya, ia tahu jika Yi Chen masih meregukannya karena pernah tersakiti oleh seorang pria yang memiliki imej sama sepertinya.

“Aku … tidak tahu. Aku nyaman bersamamu, tapi … sungguh sulit Jiro,” sungguh Yi Chen menyesal mengatakannya, sama saja bukan jika itu artinya ia sedang menolak Jiro sekarang?

Ketika melihat kekecewaan yang terpancar jelas dari mata Jiro. Yi Chen merasa sangat bersalah, entah kenapa ia tak suka melihat wajah Jiro yang biasanya ceria menjadi muram. Kenapa aku seperti ini? Aku sungguh tak mengerti dengan diriku sendiri, batin Yi Chen bergejolak.

“Yah, aku tahu. Semuanya butuh proses dan aku akan menunggu,” ujar Jiro penuh keseriusan yang membuat Yi Chen semakin merasa bersalah.

Tanpa sadar bulir-bulir bening meluncur mulus dari kedua manik mata indah Yi Chen. Tentu hal itu membuat Jiro panik, ia merasa jika dirinya terlalu memaksa Yi Chen sehingga membuat gadis itu menangis. Namun, bukan itu alasan sebenarnya. Yi Chen sangat menyesal sudah menolak pria yang tulus seperti Jiro.

Entah kenapa Yi Chen merasa Jiro benar-benar tulus menyukainya. Kenapa ia baru sadar setelah beberapa saat lalu menolak pernyataan pria di hadapannya ini? Rasa nyaman ketika berada di dekat Jiro selama beberapa waktu ini belum pernah ia rasakan saat dulu menjadi kekasih Danson. Ia dulu hanya merasa bangga karna berhasil berpacaran dengan idolanya.

“Hei! Yi Chen!” Jiro bingung harus berbuat apa, ia mengacak rambutnya berkali-kali hingga terlihat berantakan namun terkesan seksi. “Ayolah, jangan menangis! Baiklah! Aku janji tidak akan memaksa atau jika perlu aku tidak akan mengganggumu lagi tapi kumohon berhenti menangis, oke?” Jiro memelas frustasi.

TIDAK! Batin Yi Chen menjerit. Ia tak ingin Jiro menjauh darinya apalagi jika sampai pria ini menghilang dari jarak pandangnya. Entahlah! Memikirkan jika itu terjadi semakin membuatnya sesak dan tangisan Yi Chen semakin keras. Jiro sendiri benar-benar bingung dengan reaksi Yi Chen dan tak tahu lagi harus melakukan apa? Pikirannya kosong. Ia tidak tahu bagaimana cara mengehentikan seorang gadis yang menangis.

“Astaga! Berhentilah menangis Yi Chen, sebenarnya kau ingin aku bagaimana?” tanpa pikir panjang lagi Jiro langsung menarik Yi Chen masuk dalam pelukannya, berharap gadis ini berhenti menangis.

Tubuh Yi Chen menegang seketika, mengetahui dirinya kini berada dalam pelukan seseorang. Jiro memeluknya, itu membuat Yi Chen sulit mengatur detak jantungnya yang tengah berlomba. Perlahan tangisannya yang keras tadi hanya menyisakan isakan kecil yang keluar dari bibirnya.

Jiro sendiri merasa Yi Chen sudah mulai tenang. Ia hanya mendengar isakan kecil dari gadis itu. Pelrahan ia mencoba melepaskan pelukannya tapi ada hal yang menbuat tubuhnya menegang. Yi Chen mengeratkan pelukannya, tak ingin melapas kehangatan yang ia peroleh dari Jiro. Perasaan senang namun gugup menghampiri Jiro karena reaksi Yi Chen yang tak ia duga sebelumnya.

“Jangan dilepas! Wajahku pasti memalukan sehabis menangis tadi dan kau mungkin tidak akan menyukaiku lagi jadi biarkan saja seperti ini,” ujar Yi Chen semakin mengeratkan pelukannya di pinggang Jiro

Yi Chen membenamkan wajahnya di dada bidang pria itu, ia bisa menghirup aroma mint yang menguar dari tubuh Jiro dan itu sangat menenangkannya. Sementara reaksi Jiro sendiri tampak tak percaya dengan yang ia alami saat ini. Benarkah Yi Chen yang sekarang berganti memeluknya? Astaga! Betapa senangnya Jiro jika ini bukan mimpi.

“Apa ini bukan mimpi?” batinnya sangat berharap jika ini nyata dan iseng Jiro mencubit tangannya sendiri yang juga masih memeluk punggung Yi Chen. “Aww!” pekiknya tanpa sadar.

“Kau kenapa?” tanya Yi Chen dengan ekspresi polosnya melepas pelukan mereka dan berganti menatap Jiro setelah mendengar pekikan dari pria ini.

“Aku tidak bermimpi,” gumam Jiro. “Ja – jadi kita?” ia menggantungkan pertanyaannya berharap Yi Chen mengerti akan maksudnya.

“Kita apa?” tanya Yi Chen lagi masih dengan ekspresi polosnya, mata yang sembab dan hidung mungilnya yang memerah serta bibir yang sedikit bengkak karena menangis tadi membuat Jiro semakin gemas dengan gadis ini.

“Lin Yi Chen, please! Jangan membuatku bingung, okay? Jadi apa maksudmu mulai sekarang kita menjadi sepasang yang berbahagia?” Jiro berusaha menekan dalam-dalam emosinya yang sudah sangat tidak sabar dengan kepolosan Yi Chen yang terkadang memang sangat menyebalkan.

Gadis itu sangat mengerti maksud Jiro sebenarnya, ia hanya ingin memancing pria di hadapannya ini untuk mengatakan sesuatu tentang mereka saat ini. Pipinya merona saat Jiro mengatakan kenyataan hubungan mereka saat ini. Pria ini benar-benar sudah gemas dengan sikap Yi Chen yang seolah tak mengerti maksud dan arah tujuan pembicaraan mereka.

Well! Karena sejak tadi tidak menjawab apapun yang aku tanyakan maka aku ambil kesimpulan bahwa mulai saat ini kau milikku. Jadi kau tidak boleh dekat-dekat dengan pria manapun selain aku kecuali jika saat itu aku sedang bersamamu,” ujar Jiro menegaskan sedangkan Yi Chen membulatkan mulutnya, tak menyangka ternyata Jiro bisa menjadi sangat posesif.

“Termasuk Calvin?” tanya Yi Chen lagi.

“Yah, termasuk Calvin!” sahutnya tegas seraya menarik kembali Yi Chen dalam dekapannya. “Wo zhende xihuan ni suoyi wo bu hui fangkai ni. Ni shi wo de, yongyuan!” lanjutnya semakin mengeratkan pelukan mereka, ia takkan melepas Yi Chen. Gadis ini adalah miliknya sampai kapanpun.

Dui. Wo shi ni de er wo ye xihuan ni, Wang Da Dong!” sahut Yi Chen yang juga makin membenamkan wajahnya pada dada bidang Jiro.

Mereka masih asyik berpelukan seakan dunia hanya milik mereka tanpa ada seorang pun yang mengganggu. Keduanya merasa sangat bahagia dengan hubungan yang akan merangkai kisah baru mereka. Harapan pasti keduanya hanya cerita cinta mereka akan indah untuk dikenang suatu saat nanti dan bisa bersama selamanya.

Akhirnya mereka sadar terlalu lama menghabiskan waktu berdua. Perasaan yang meluap-luap bahagia, musim semi dengan bunga-bunga yang indah bermekaran menggambarkan betapa bahagianya mereka. Yah, walau saat ini sedang musim panas tapi perasaan tak harus sama dengan musim yang sedang terjadi, bukan?

“Mungkin mereka sedang mencari kita saat ini,” ujar Yi Chen pertama kali melepas pelukannya.

“Tapi aku masih ingin berdua saja denganmu Yi Chen,” Jiro merengek agar kekasihnya ini mengerti bahwa ia ingin lebih lama lagi menghabiskan waktu mereka berdua. “Lagipula saat pengumuman sudah dijelaskan jika kita akan berkumpul lagi pada jam makan siang jadi sekarang lebih baik kita nikmati saja dulu momen indah ini tanpa gangguan,” lanjutnya penuh harap agar Yi Chen setuju.

“Bagaimana dengan Fu Zhen? Dia ….”

“Ada Calvin yang bisa menemaninya, lebih baik kita membiarkan mereka berdua agar ingatan Calvin bisa cepat pulih,” Jiro memotong ucapan Yi Chen bukan hanya karena alasan ingin berdua dengan Yi Chen tapi ia memang ingin membantu sahabatnya agar Calvin bisa cepat mengingat Fu Zhen sebelum batas waktu yang Fu Zhen tentukan akhirnya tiba dan itu pasti membuat mereka menyesal nantinya.

“Yah, sepertinya kau benar. Aku juga tidak tahan melihat Fu Zhen seperti sekarang ini, ia terlalu banyak berkorban perasaan,” sahut Yi Chen menyetujui ucapan kekasihnya. “Tapi bagaimana dengan Jun Jie ge?” batinnya memikirkan nasib kakak yang sangat ia sayangi itu. “Perasaan seseorang memang tak bisa ditebak, semua sudah ditentukan oleh takdir. Hanya bisa berharap cinta tulus ini tidak menyakiti siapapun walau memang harus ada yang dikorbankan untuk mendapat yang terbaik,” pikirnya lagi dan hanya berharap ketiga orang ini bisa memperoleh kebahagiaan cinta yang diagung-agungkan setiap manusia.

***

Berbeda dengan Yi Chen dan Jiro yang sedang bersemi, kedua insan yang sejak tadi menunggu sahabat masing-masing tak ada yang mengeluarkan suara sama sekali. Mereka seolah merasa hanya seorang diri padahal jelas ada seseorang di sampingnya.

Mungkin lebih tepat Fu Zhen yang dikatakan seperti itu, Calvin sejak tadi sesekali mencuri pandang ke gadis yang duduk manis di sebelahnya. Menatap kagum ciptaan Tuhan yang begitu indah di matanya. Air terjun yang mengalir dari atas dan arusnya yang deras menerpa bebatuan sungguh sangat menakjubkan.

“Ehemm,” Calvin berdehem, mulai merasa jengah dengan keheningan di antara mereka dan Fu Zhen akhirnya menoleh seolah dengan pandangan yang mengatakan ‘ada apa?’ namun tak langsung ditanggapi oleh Calvin.

Pria ini masih memandang lurus ke depan sebelum akhirnya membuka suara. Pertanyaan yang sudah sejak lama ia pendam dan harus diungkapkan sekarang juga. Calvin tak mau menyiakan waktu yang berharga ini karena belum tentu suatu saat nanti ia bisa berdua saja dengan Fu Zhen.

“Ada yang ingin kutanyakan padamu,” Fu Zhen tak menjawab, menanti pertanyaan Calvin. “Sedekat apa hubungan kita dulu? Kuharap kau jangan mengelak lagi karena aku sudah sangat yakin jika dalam masa laluku dulu kau adalah salah satu sosok yang hilang,” lanjutnya.

Fu Zhen diam beberapa saat sebelum akhirnya ia menghela nafas berat dan menjawab. Bukankah sulit jika sesuatu yang menyakitkan itu kembali ke permukaan terlebih orang yang mengungkitnya adalah yang memiliki kaitan erat. Yah, walau kenyataannya orang itu tidak tahu apa-apa saat ini. Namun, tetap saja dalam hal ini Fu Zhen lah yang dirugikan, ia yang dilupakan.

“Bukankah aku pernah mengatakan padamu? Berusahalah mengumpulkan puzzle-puzzle itu dan kembali membuatnya ke bentuk semula maka kau akan mengetahui apa yang hilang,” sahut Fu Zhen tanpa mengalihkan pandangannya dari air terjun yang sangat tepat digunakan untuk menenangkan pikirannya saat ini.

“Aku tidak butuh jawaban yang seperti itu Fu Zhen. Bagaimana bisa aku mengingat sesuatu jika semuanya benar-benar masih abu-abu bagiku? Seharusnya kau mengerti kondisiku saat ini dan dengan menjauhkan dirimu dariku apa kau pikir itu akan membuatku bisa mengingatmu? Setidaknya jangan menjauh dariku agar segalanya menjadi lebih mudah!” Calvin sendiri sudah tidak kuat lagi untuk menahan ledakan isi pikirannya, semua meluncur dengan mulus begitu saja dari bibirnya.

Setelah mengatakan itu, Calvin beranjak dari duduknya memilih meninggalkan Fu Zhen sendiri. Ia takut jika semakin lama bersama gadis itu membuatnya tak bisa mengontrol emosi dan akan berdampak buruk bagi mereka. Calvin butuh waktu untuk menenangkan dirinya saat ini. Ia sadar kalau mungkin ucapannya sedikit keterlaluan pada Fu Zhen tapi entah kenapa isi pikirannya tumpah begitu saja keluar dari mulutnya.

Sepeninggal Calvin membuat Fu Zhen benar-benar merasa jika dirinya jahat tapi ia hanya ingin agar Calvin bisa menepati janji mereka dulu. Apakah dirinya begitu egois mengharapkan Calvin bisa mengingatnya tanpa harus dekat dengan dirinya? Seakan dunia tak lagi berputar pada porosnya, begitulah keadaan Fu Zhen saat ini. Ucapan Calvin tadi terus terngiang di pikirannya membuat refleks sarafnya yang lain melemah. Bahkan ia tak sadar jika ada yang memperhatikan mereka sejak tadi.

Drrttt … Drrttt … Drrttt ….

Getaran ponselnya masih belum bisa mengembalikan kesadaran Fu Zhen. Gadis itu mulai mengerjap lagi ketika getaran yang menandakan ada panggilan masuk berhenti dan kembali bergetar. Melihat caller id yang tertera pada layar ponselnya membuat Fu Zhen dengan cepat menekan tombol hijau untuk menjawab panggilan.

Wei,” sahutnya lemas

Kau kenapa?” suara di seberang sana terdengar khawatir ketika Fu Zhen menjawabnya dengan nada lemah.

“Ada apa Jun Jie ge?” tanyanya lagi tanpa menjawab pertanyaan orang yang ternyata adalah Jun Jie.

Terjadi sedikit masalah, kita harus segera kembali,” sahut Jun Jie yang tak mau memikirkan lagi apa yang terjadi pada Fu Zhen karena gadis itu sendiri tidak menjawab pertanyaannya.

“Masalah apa?” kini nada suara Fu Zhen pun tak kalah seriusnya.

Curiosity masih belum sempurna, saat percobaan akan dilakukan terdapat beberapa keganjilan dan kita harus mendiskusikannya lagi dengan yang lain jadi kesimpulannya kau mengerti kan?

“Ah, kenapa harus ada masalah di saat seperti ini?” gerutu Fu Zhen, ia benar-benar gusar sekarang karena masalahnya saja belum selesai dengan Calvin tapi? “Lalu bagaimana dengan …?” belum Fu Zhen menyelesaikan ucapannya sudah dipotong oleh suara Jun Jie dari seberang sana.

Hanya sebentar saja,” seakan mengerti maksud tujuan ucapan Fu Zhen berikutnya membuat Jun Jie dengan terpaksa harus memotong ucapan gadis itu.

Kadang Fu Zhen sendiri merasa sebal dengan pekerjaannya yang memang sensitif ini. Bisa terjadi masalah secara tiba-tiba padahal sebelumnya sudah dipastikan bahwa hasilnya akan sempurna. Yah, tapi memang ia harus bertanggung jawab sebagai salah seorang yang ikut andil dalam pembaharuan Curiosity. Pemantauan yang ketat harus terus dilakukan agar hasilnya nanti juga akurat. Fu Zhen menghela nafas kasar sebelum akhirnya menjawab.

“Baiklah! Kita kembali setelah kepulanganku dari liburan ini,” sahut Fu Zhen tanpa menunggu balasan dari Jun Jie, ia langsung memutus sambungannya.

Kau terlalu sulit untuk ditebak, mysterious girl,” batin Danson yang sejak tadi sudah mengawasi Fu Zhen dan Calvin lalu ia pergi begitu saja meninggalkan gadis itu.

***

Hari ini dilewati dengan cukup berat bagi Fu Zhen dan Calvin. Berbeda dengan Jiro dan Yi Chen yang selalu saja menempel berdua sejak kedatangan mereka saat makan siang bahkan ketika tiba di villa pun pasangan ini sulit sekali dipisahkan.

“Ada yang ingin kubicarakan,” Fu Zhen menginterupsi kemesraan Yi Chen dan Jiro yang sedang asyik duduk berdua di taman belakang villa.

Seolah mengerti jika dirinya sedang tidak diinginkan berada di sekitar kedua gadis itu, Jiro pun mengalah. Tanpa perlu diminta oleh Fu Zhen yang sepertinya ingin bicara sesuatu yang penting dengan kekasihnya. Ia menatap Yi Chen sebentar sebelum pergi meninggalkan mereka berdua.

“Kenapa?” tanya Yi Chen membuka suara.

“Setelah liburan ini aku dan Jun Jie ge akan kembali ke Amerika,” sahut Fu Zhen mendudukkan dirinya di sebelah Yi Chen.

“Apa terjadi masalah yang serius di sana?” Fu Zhen tak langsung menjawab pertanyaan dari sahabatnya itu, ia menghela nafas berat.

“Ya begitulah dan mewajibkanku untuk ikut andil dalam perbaikan itu.”

“Lalu kau akan pergi berapa lama? Kau akan kembali lagi kan?”

“Kuharap tidak terlalu banyak yang harus diperbaiki lagi jadi aku masih bisa menikmati masa cutiku,” lirih Fu Zhen, berat baginya jika harus pergi lagi sementara apa yang menjadi tujuannya belum tercapai di sini.

“Yah, kuharap masalahnya tidak terlalu berat jadi kau bisa cepat pulang,” sahut Yi Chen dengan senyumnya berusaha menyemangati Fu Zhen yang hanya mengangguk mengiyakan ucapan sahabatnya.

“Well, lupakan masalahku sebentar. Jadi sekarang bagaimana kau dan Jiro?” terlihat rona merah muda menyebar di pipi Yi Chen mendapat pertanyaan itu dari Fu Zhen, ia hanya bisa tersenyum menjawabnya.

“Sudahlah, sebaiknya kita tidur sekarang!” ajak Yi Chen yang sudah tak bisa lagi menahan rasa malunya, ia beranjak memasuki villa menuju kamarnya dan Fu Zhen yang tentu saja diikuti juga oleh sahabatnya itu.

Sulit bagi Fu Zhen untuk memejamkan matanya, sebuah kalimat yang diucapkan Yi Ru siang tadi terus saja membayangi pikirannya. Apakah kali ini ia benar-benar telah salah mengambil langkah?

“Seharusnya kau mengerti kondisiku saat ini dan dengan menjauhkan dirimu dariku apa kau pikir itu akan membuatku bisa mengingatmu?”

Ucapan Calvin itu benar-benar tak bisa dihapus dari ingatannya. Berulang kali ia mencoba untuk memejamkan mata dan mengusir perkataan Calvin tapi tak pernah bisa. Bahkan sekarang hal itu berhasil membuat Fu Zhen merenungi segala tindakannya. Namun, perlahan matanya mulai lelah dan akhirnya terpejam sempurna. Fu Zhen terlalu mamaksakan dalam menggunakan kapasitas otaknya.

Waktu seakan berputar begitu cepat hingga tanpa terasa hari telah kembali berganti.  Sinar-sinar sang fajar menelusup masuk menggelitik mata kedua gadis yang masih terlelap di balik selimut mereka. Keduanya mulai mengerjap dan perlahan mulai membuka mata dengan sempurna.

Mereka harus segera bersiap untuk liburan hari ini. Tujuan yang tak kalah menyenangkan dari kemarin yaitu tempat yang akan menjadi objek wisata utama saat musim panas. Sebuah tempat yang begitu menyejukkan dengan kelembutan pasirnya yang menyapa kaki-kaki tak beralas juga nada-nada yang saling bersahutan dengan ombak yang membentur karang, aroma air laut yang menyapa indera penciuman. Pantai. Tentu tak ada yang bisa menolak ketika diajak ke tempat itu terlebih di musim panas seperti ini.

Usai sarapan mereka langsung meluncur menuju Qixingtan Beach. Salah satu tempat yang wajib dikunjungi ketika berwisata di musim panas, terletak di Desa Beipu, Xincheng di sebelah timur laut kota Hualien. Terlihat semangat yang berkobar dari siswa-siswi FIHS sepanjang perjalanan menuju pantai. Setibanya di sana mereka langsung terpecah, berlarian seperti anak-anak elementary school yang baru pertama kali berwisata dengan teman-temannya padahal kegiatan ini termasuk rutin dilakukan oleh Fahrenheit International High School.

“Kau tidak ingin menghampiri kekasihmu itu?” tanya Fu Zhen pada Yi Chen yang tertangkap basah sedang memerhatikan Jiro yang asyik dengan Calvin.

Yi Chen sedikit ragu jika harus meninggalkan Fu Zhen sendirian untuk menghampiri Jiro. Ia berpikiran untuk mengajak Fu Zhen bergabung tapi sepertinya tidak mudah. Selain ada Calvin yang terus bersama Jiro, ada pula Genie yang masih terus berusaha mendekati Calvin dan sesekali melempar pandangan sinis pada Fu Zhen.

“Pergilah! Aku akan menyusulmu nanti, sekarang aku ingin berjemur dulu di sana,” Fu Zhen menunjuk sebuah kursi santai yang memang disediakan untuk berjemur bagi para wisatawan, ia  tahu jika Yi Chen merasa tidak enak harus meninggalkannya seorang diri.

“Kau yakin?” tanya Yi Chen memastikan yang disahuti anggukan mantap dari Fu Zhen seraya senyum manis gadis itu.

Setelah meletakkan tas yang ia bawa dan memastikan Fu Zhen sudah nyaman di tempat berjemurnya barulah Yi Chen pergi. Ia berlari kecil menghampiri Jiro yang masih asyik bersama Calvin. Menyadari kekasihnya datang menghampiri membuat senyum leber tersemat di wajah tampan Jiro yang secara otomatis membuat gadis-gadis histeris melihatnya.

“Tak ingin bergabung dengan mereka?” sebuah suara berat masuk ke telinga Fu Zhen, ia kenal pemilik suara ini.

Fu Zhen tak menjawab, ia masih terus memperhatikan ketiga orang itu yang asyik bermain kejar-kejaran di pantai seperti anak kecil. Kadang mereka tertawa bersama, membuat iri siapapun yang melihat. Orang yang bertanya padanya tadi duduk di kursi sebelah Fu Zhen, ikut memperhatikan objek yang sama.

“Kau ingin kembali seperti masa itu?” pertanyaan terlontar dari bibir Fu Zhen tanpa menjawab pertanyaan sebelumnya dari orang di sebelahnya yang tak lain adalah Danson.

“Sulit bagiku untuk kembali dengan mereka. Kesalahanku yang terlalu egois hingga membuat keretakan hubungan kami,” sahut Danson lirih.

“Penyesalan memang selalu datang terlambat tapi jika kau masih memiliki kesempatan untuk memperbaikinya maka cobalah! Tak ada yang tahu hasilnya sebelum mencoba bukan?”

“Kau tahu? Masalah kita sama Fu Zhen tapi kau belum menyadarinya sedangkan aku sudah tahu keegoisanku. Jadi sebaiknya kau juga mencoba memperbaiki sebelum akhirnya kau menyesal sepertiku karena kesempatanmu jauh lebih besar dibandingkan denganku,” perkataan Danson seakan menyiram Fu Zhen dengan air dingin, ia mengerti maksud pria ini.

Mereka hanya diam, memikirkan penyelesaian masalah masing-masing. Berharap segalanya bisa kembali baik-baik saja tanpa memperbesar kadar penyesalan mereka nantinya. Keheningan di antara keduanya pecah saat suara berat Danson kembali terdengar.

“Kau akan pergi lagi?” Fu Zhen tak langsung menjawab, ia lebih memilih diam daripada membocorkan rahasia yang memang harus ditutupi. “Aku mendengarnya kemarin di air terjun,” lanjut Danson menyadari bungkamnya Fu Zhen.

“Tak lama,” jawab Fu Zhen singkat lalu beralih menatap orang yang bicara dengannya sejak tadi. “Dan kau sendiri, berusahalah!” lanjutnya seraya menepuk pundak Danson lalu beranjak menghampiri Yi Chen yang memanggilnya.

“Semoga sukses!” balas Danson sedikit keras karena Fu Zhen sudah berjalan lebih dulu.

***

Tanpa terasa liburan mereka berakhir hari ini dan sebelum kembali pihak sekolah mengajak anak-anak untuk berbelanja sekadar membeli buah tangan. Antusiasme jelas tampak memancar dari wajah anak-anak itu. Mereka sudah bertekad akan menghabiskan uang yang sudah diberikan orang tua mereka untuk berbelanja di sini.

Sekitar tiga jam waktu yang dihabiskan untuk membeli buah tangan. Sudah saatnya mereka kembali ke Taipei sesuai dengan jadwal yang sudah diatur. Begitupula Fu Zhen yang sudah ditunggu untuk meluncur langsung ke Amerika.

Fu Zhen tiba di apartemennya tepat pukul tujuh malam dan di sana sudah ada Jun Jie yang dengan senantiasa menunggu kepulangannya. Yi Chen pun ikut ke apartement Fu Zhen untuk mengantarkan kakak serta sahabatnya langsung ke bandara. Walau merasa sangat lelah tapi Fu Zhen memiliki tanggung jawab besar dalam proyek ini.

“Cepat kembali!” Yi Chen memeluk bergantian Fu Zhen dan Jun Jie saat pemeberitahuan keberangkatan menuju Amerika sudah terdengar.

Pesawat mereka lepas landar tepat jam sebelas malam dan butuh waktu sekitar sebelas jam perjalanan menuju Amerika. Fu Zhen yang memang sudah terlalu lelah membuatnya langsung terlelap saat pesawat baru sepuluh menit terbang. Jun Jie yang melihat itu hanya menggeleng seraya tersenyum manis memperlihatkan cekungan di pipinya yang semakin menambah pesona pria itu di mata para wanita. Ia menarik kepala Fu Zhen perlahan, menyandarkan di bahunya dengan posisi senyaman mungkin.

Washington Dulles Airport - Washington DC, United States (10.00 p.m)

Akhirnya pesawat tiba di bandara internasional Washington Dulles, Amerika Serikat. Fu Zhen dan Jun Ji baru saja keluar dari pintu kedatangan dan sudah disambut oleh seorang supir khusus yang memang sengaja dipersiapkan untuk menjemput keduanya.

Mereka langsung diantar ke Hyatt Dulles Hotel karena melihat waktu tiba mereka yang sudah cukup larut. Besok pagi sekali keduanya sudah harus bersiap untuk berangkat lagi ke kantor dan menyelesaikan tugas. Perjalanan panjang yang sangat melelahkan.

National Aeronautics and Space Act (NASA) – Wahington DC (US)

Tepat pukul delapan pagi ini Fu Zhen dan Jun Jie atau yang akrab dipanggil JJ  saat di Amerika sudah menginjakkan kakinya di kantor NASA. Mereka langsung menuju ke sebuah ruangan yang akan menjadi tempat diskusi mereka sebelum menuju tempat rover berada.

Welcome home! I miss you, baby!” ujar seorang pria ketika melihat sahabatnya kembali.





I miss you too Aaron,” sahut Fu Zhen memeluk Aaron yang memang sudah merentangkan tangannya menanti gadis itu.

Mereka tak menghiraukan JJ yang juga berada di sana dan memerhatikan keduanya sambil memutar mata malas. Well, kedua sahabat ini memang sulit untuk dipisahkan jika sudah bertemu. Usia yang sama serta berasal dari negara yang sama pula membuat keduanya cepat akrab.

Where’s professor?” tanya JJ yang mulai gerah dengan tingkah keduanya.

“Ah ya, aku hampir lupa. Kalian sudah ditunggu oleh Professor di dalam ruangannya,” sahut Aaron menggamit lengat Fu Zhen dan mengajaknya masuk ke dalam ruangan yang dimaksud. “They’re here, prof.”

Seseorang yang dipanggil professor oleh pria berwajah dingin bernama Aaron itu mengalihkan perhatian dari kegiatannya semula yang sedang memerhatikan kertas-kertas. Isinya tak lain dan tak bukan berupa gambar-gambar rakitan dari rover yang dikatakan bermasalah.

“Kalian sudah tiba rupanya, lebih cepat dari yang kuperkirakan,” sahut Professor itu.

“Dia langsung menarikku ke bandara saat baru pulang liburan ge,” adu Fu Zhen dengan nada manjanya.

Aneh mendengar Fu Zhen memanggil professor dengan nada manja dan sebutan gege? Well, sebenarnya usia professor itu hanya terpaut tiga tahun lebih tua dari JJ. Selain itu, professor juga berasal dari Taiwan, sama sepertinya.

“Jangan membuat adik kesayanganku ini kelelahan Jun Jie,” nada bicara professor itu terdengar sangat berwibawa namun sebenarnya terselip maksud hanya bercanda.

“Yah, selalu akhirnya aku yang disalahkan,” gerutu Jun Jie pura-pura merajuk.

“Kau tak ingin memelukku?” Professor tersenyum pada Fu Zhen yang langsung berhambur masuk ke pelukannya.




I really miss you daddy Zun,” ujar Fu Zhen disela pelukan mereka.

“Miss you too, princess.”

Daddy? Yah, professor tampan berkacamata ini sudah memiliki seorang putri yang baru berusia dua tahun. Sosok yang sangat diidolakan oleh Fu Zhen sendiri karena selain tampan, pria ini sudah mendapat gelar professor di usia dua belas tahun karena kejeniusannya. Professor Zun sekarang sudah berusia dua puluh tujuh tahun.

Fu Zhen sendiri mengenal Zun saat masih kuliah di MIT. Zun merupakan dosennya dulu yang merangkap sebagai professor juga di NASA. Ia pun kenal dengan Aaron karena pria imut nan dingin itu merupakan asisten Professor  Zun.

So, what’s worng with the rover, prof?” tanya JJ yang sudah gerah menyaksikan acara berkangen ria ini.

Okay! Follow me, please!” sahut professor Zun mengerti dengan raut kesal JJ.

Tak sesuai dengan dugaan sebelumnya ternyata Fu Zhen dan JJ langsung dibawa ke tempat Curiosity Rover berada. Mereka bisa melihat orang-orang yang sibuk dengan tugasnya masing-masing dalam proses perbaikan rover ini.



“Apa yang salah?” tanya Fu Zhen sambil matanya terus memperhatikan rover itu.

“Pendaratan tidak sempurna, kita hampir saja kehilangan seorang astronot,” Aaron menjawab pertanyaan Fu Zhen sedangkan Professor Zun bersama JJ sudah memilih untuk lebih meneliti rover dari jarak dekat.

Fu Zhen serta Aaron juga ikut lebih meneliti lagi kekurangan apa yang sebenarnya terjadi pada rover ini. Pendaratan yang tidak sempurna memang sangat berakibat fatal. Bisa saja hal itu mengundang perhatian makhluk asing untuk mendekat karena suara yang ditimbulkan dari rover ini. Curiosity sendiri saat percobaannya didampingi oleh seorang astronot yang menggunakan pesawat luar angkasa lainnya dan sudah lebih dulu mendarat.

“Mungkin ada kesalahan pada salah satu kerangkanya dan tidak terpasang dengan tepat,” ujar Fu Zhen setelah mereka mengamati rover itu lebih teliti.

“Sebaiknya kita ke ruanganku untuk membahas lebih lanjut lagi,” ajak Professor Zun yang langsung diikuti oleh Aaron, Fu Zhen, dan JJ.

Fahrenheit International High School – Taipei, Taiwan

Sudah dua bulan berlalu sejak berakhirnya liburan musim panas. Tak ada satu pun yang tahu kabar tentang Fu Zhen yang tiba-tiba saja menghilang kecuali Yi Chen tentunya. Namun, gadis itu memilih diam dan menjaga rahasia sahabatnya dengan baik.

Berulang kali pula Jiro menanyakan keberadaan Fu Zhen pada Yi Chen tapi kekasihnya itu tetap memilih bungkam. Jiro merasa kasihan dengan Calvin yang terlihat sangat kacau selama dua bulan ini. Terlebih dengan keberadaan Genie yang mengambil kesempatan menempel terus pada Calvin membuat pria itu semakin pusing.

“Ayolah baobei, beritahu aku di mana Fu Zhen! Apa kau tidak kasihan melihat Calvin yang kacau seperti itu?” Jiro merengek pada Yi Chen sambil menunjuk ke arah Calvin yang benar-benar terlihat frustasi dengan mengacak-ngacak rambutnya.

Ada sebuah alasan yang membuat Calvin sangat frustasi seperti itu. Yah, Jiro sudah mengatakan tentang Fu Zhen yang sebenarnya adalah sahabat kecilnya dan betapa kecewanya Fu Zhen karena Calvin tidak mengingatnya di pertemuan pertama mereka setelah sepuluh tahun berpisah. Terlebih bagaimana Fu Zhen yang dengan keras kepalanya hanya member tempo sepuluh bulan bagi Calvin untuk kembali mengingatnya.

Tapi bagaimana ia bisa ingat jika orang yang berkaitan tak bersamanya? Calvin benar-benar tak ingin merasa kehilangan lagi. Ia selalu merasakan kerinduan yang teramat dalam tiap kali melihat Fu Zhen. Dan sekarang lebih parahnya lagi Calvin merasa seolah separuh nafasnya telah hilang, oksigen yang biasa ia hirup terasa sangat segar kini sangat menyesakkan.

Zhende duibuqi, wo bu ke yi shuo,” sahut Yi Chen dengan ekspresi menyesalnya dan membuat Jiro hanya bisa menghela nafas kasar.

Mereka saat ini sedang berada di kantin menikmati makan siang. Saat tiba-tiba saja sebuah informasi yang luar biasa mengejutkan seluruh warga FIHS kecuali Yi Chen. Mereka menganga melihat dan mendengar berita yang disiarkan.

“Pagi ini NASA memberi pengumuman melalui situs resminya bahwa Curiosity Rover siap untuk diluncurkan ke Mars. Mungkin masih banyak yang belum mengetahui tentang Curiosity yang merupakan robot penjelajah berteknologi tinggi khusus untuk menjelajahi planet Mars. NASA sebelumnya sudah pernah mengirim Curiosity ke Mars dan untuk mendukung penelitian terhadap planet tetangga itu maka Curiosity akhirnya diperbaharui. Kini semua proses sudah selesai dan Curiosity siap kembali diluncurkan. Kita dapat berbangga diri sebagai warga Taiwan karena penelitian kali ini dilakukan oleh professor-professor berbakat dari Taiwan. Mereka adalah Professor Zun yang sudah menyelesaikan gelar masternya di MIT pada usia dua belas tahun dan dinobatkan sebagai professor termuda saat itu. Selain beliau ada juga Aaron, asisten Professor Zun yang tak kalah jeniusnya. Kemudian pria berusia dua puluh empat tahun, putra sulung dari pengusaha hebat di negara kita, Lin Jun Jie atau bisa juga dipanggil JJ. Terakhir satu-satunya professor wanita yang ikut andil dalam penelitian ini. Professor Hebe, putri dari pengusaha nomor satu di Taiwan dan sudah memiliki berbagai cabang di seluruh dunia. Beliau dikenal juga dengan nama Tian Fu Zhen, pemilik dari sekolah elit Fahrenheit International High School yang sudah diwariskan oleh mendiang kakeknya. Sungguh anak-anak bangsa yang membanggakan negara. Sekian breaking news dari kami dan selamat menyaksikan acara berikutnya.”

Gambar-gambar yang sejak tadi ikut tampil diiringi dengan suara dari penyiar berita itu ikut menghilang. Mereka sangat kenal dengan wajah sosok yang dikatakan sebagai Professor Hebe itu. Seorang yang selama ini mereka anggap sebagai gadis misterius adalah seorang professor dan pemilik dari sekolah ini. Astaga!

Keheningan melanda suasana kantin FIHS, mereka masih shock dengan berita yang baru saja ditayangkan oleh salah satu stasiun televisi. Jadi selama ini ada seorang professor hebat di tengah-tengah mereka? Sulit dipercaya.

“Kau sudah tahu tentang ini semua?” tanya Jiro pada kekasihnya itu yang hanya menunduk tak berani menatap matanya.

“Begitulah. Aku harus menutupi rahasia besar dari kakak dan sahabatku. Maaf,” Yi Chen masih menundukkan kepalanya, merasa bersalah pada Jiro dengan menyimpan rahasia besar ini sendirian.

“Hei, jangan seperti ini! Kau tidak salah sayang, semua yang kau lakukan memang benar. Rahasia sebesar itu tentu tidak boleh dibocorkan pada siapapun, aku mengerti,” ujar Jiro penuh kelembutan, ia tahu Yi Chen pasti takut dirinya akan marah tapi sebenarnya apa yang harus membuat Jiro emosi?

Bukankah Yi Chen sudah melakukan hal yang banar? Itulah isi pikiran Jiro jadi ia tak berhak untuk marah pada kekasihnya. Sebaliknya ia merasa bangga pada Yi Chen yang bisa menjaga rahasia sebesar ini sendirian.

***

Beberapa hari setelah kabar peluncuran Curiosity itu, Fu Zhen dan Jun Jie kembali ke Taiwan. Ia masih memiliki waktu cuti beberapa bulan lagi. Walau mungkin sudah tak bisa ke sekolah lagi karena rahasianya sudah terbongkar tapi setidaknya ada satu hal lagi yang membuat dirinya harus tetap bertahan di Taiwan.

Fu Zhen sudah memutuskan untuk pergi ke FIHS, mencari Calvin. Seperti yang pernah dikatakan oleh Danson, mungkin memang sebaiknya ia menekan rasa egonya sebelum penyesalan datang menghampiri. Fu Zhen berniat menceritakan segala hal tentang mereka dulu pada Calvin setelah pulang sekolah.

Sepertinya ia tepat waktu melihat dari anak-anak FIHS yang baru mulai keluar gerbang sekolah. Tak sedikit dari anak-anak itu yang memerhatikannya lalu tersenyum. Fu Zhen pun membalas senyuman itu. Ia baru saja berniat masuk gerbang sekolah saat matanya tanpa sengaja melihat seorang anak kecil berlari ke tengah jalan berniat mengambil bolanya.

“Astaga!” pekiknya seraya langsung berlari dan menggendong anak kecil itu ke pinggir jalan. “Tunggu di sini sebentar ya, jiejie yang akan ambil bolanya,” anak itu mengangguk.

Tanpa menyadari ada sepasang mata yang memperhatikannya dengan tatapan membunuh dari dalam mobil. Fu Zhen terus melangkah ke tengah jalan untuk mengambil bola anak kecil itu. Kejahatan bisa dilakukan oleh siapapun saat matanya gelap akan kebencian.

“Kau akan menyesal,” sebuah mobil melaju kencang ke arahnya, dengan sengaja berniat menabrak Fu Zhen yang sedang lengah.

Oh, shit!” seorang pria langsung berlari ke arah Fu Zhen saat tanpa sengaja melihat sebuah mobil yang sangat ia kenal melaju kencang berniat menabrak gadis itu.

BRAKK

Suara benturan keras terdengar hingga ke dalam gedung FIHS. Semuanya yang memang sudah berniat untuk pulang sontak terkejut melihat tubuh seorang yang sangat mereka kenal berlumuran darah di tengah jalan. Fu Zhen yang menjadi calon korban terlihat sangat shock dengan kejadian barusan.

“Noooo …,” ia berteriak histeris mengejutkan seorang pria yang sebenarnya melihat kejadian itu sejak awal tapi tidak sempat menolong karena mendadak tubuhnya kaku tak bisa digerakkan sedikit pun.

Bayangan-bayangan aneh muncul dan berkelebat di otak pria itu. Ia masih diam hingga tak lama kemudian mengerjap dan segera berlari menghampiri tubuh yang terbaring di tengah jalan serta Fu Zhen yang histeris.

“Cepat telpon ambulans!” perintahnya pada siapapun yang berada di lokasi kejadian, ia memeluk tubuh Yi Chen yang bergetar hebat.

“Apa yang terjadi?” dua sosok lainnya muncul dengan susah payah dari kerumunan itu dan menatap miris tubuh yang terbaring lemah itu. “Danson!” lirihnya

Yah, pria yang menolong Fu Zhen tak lain adalah Danson. Sementara pria yang kini masih terus berusaha menenangkan kehisterisan Fu Zhen dengan mendekap erat tubuh gadis itu adalah Calvin.

Ambulans akhirnya datang dan tubuh Danson langsung digotong masuk ke ambulans. Karena shock hebat yang dialaminya membuat Fu Zhen pingsan dan juga ikut dilarikan ke rumah sakit. Calvin serta Jiro dan Yi Chen yang tadi baru saja datang ikut masuk ke ambulans untuk mengantar mereka.

Setibanya di rumah sakit, Danson langsung dibawa ke IGD karena kondisinya yang bisa dibilang sangat parah. Fu Zhen sendiri yang masih pingsan ikut dirawat dalam kamar VIP. Semuanya terlihat sangat cemas menanti kemunculan dokter dari balik ruang operasi. Mereka berharap ada kabar baik tentang keadaan Danson. Sekitar tiga jam berada dalam ruang operasi akhirnya dokter keluar.

“Bagaimana keadaannya?” tanya Jiro

“Pasien tidak mengalami luka dalam yang serius, ia patah tulang kaki serta ada keretakan pada tulang punggungnya jadi harus tetap dilakukan perawatan intensif,” sahut dokter tersebut.

“Kapan ia bisa sadar?” kini Calvin yang bertanya, sangat terdengar nada khawatir dari suaranya.

“Kami belum tahu pasti, tergantung dari kinerja obat yang kami suntikkan. Jika perkembangan pasien cukup baik mungkin besok ia sudah sadar. Kami akan memindahkannya ke ruang perawatan jadi kalian bisa menjenguk pasien di sana,” jelas dokter itu seraya pergi meninggalkan Calvin dan Jiro yang masih berada di depan ruang IGD sementara Yi Chen menemani Fu Zhen.

Hari sudah berganti dan matahari yang semakin meninggi membangunkan gadis cantik dari tidurnya setelah pingsan kemarin. Ia mengerjap perlahan dan menangkap cahaya yang begitu menyilaukan mata. Pandangannya beralih ke sekeliling ruangan berwarna putih ini hingga berhenti di sebuah sofa dan menemukan seorang pria yang tertidur di sana.

Bear Boy,” lirihnya agar tak membangunkan pria yang tak lain adalah Calvin itu.

Entah mendengar suara lirih Fu Zhen atau tidak tapi kini Calvin sudah membuka matanya sempurna. Ia menghampiri ranjang Fu Zhen dengan senyum lembut yang menenangkan. Terlihat sekali raut kelegaan terpancar di wajahnya.

“Akhirnya kau bangun juga,” ujar Calvin menggenggam erat tangan gadis itu.

“Danson?” Fu Zhen menyebutkan nama penyelamatnya kemarin.

“Ia masih belum siuman tapi tidak terjadi hal yang serius jadi kau tenag saja,” jawab Calvin.

Pintu kamar rawat Fu Zhen terbuka dan memunculkan Yi Chen serta Jun Jie di sana. Mereka mendekati ranjang, memastikan keadaan Fu Zhen sudah baik-baik saja. Terlihat sekali raut khawatir terpancar dari wajah Jun Jie ketika baru memasuki ruangan kini berganti dengan ekspresi kelegaan.

“Kau baik-baik saja?” tanya Jun Jie yang dijawab dengan anggukan oleh Fu Zhen.

“Jiro tadi mengatakan jika Danson sudah sadar,” ujar Yi Chen seraya menatap Calvin yang menganggukkan kepalanya mengerti.

“Aku pergi dulu,” Calvin pun keluar dari ruangan Fu Zhen menuju ruang rawat Danson, ia bisa melihat betapa mengenaskannya keadaan Danson saat ini baginya. “Berengsek!” makinya pada pasien rumah sakit yang tengah tersenyum setan padanya.

“Bukankah aku hebat?” Danson masih mempertahan senyum yang sangat menyebalkan menurut Calvin, pria itu mendengus kesal karena sahutan Danson.

“Yah, kau luar biasa brother,” puji Jiro memberi two thumbs tepat di hadapan Danson.

Mereka diam, keadaan menjadi canggung mendadak. Sebenarnya secara tak langsung hubungan mereka sudah membaik tapi belum ada pernyataan resmi yang keluar dari bibir masing-masing. Namun, mungkin memang lebih baik seperti itu.

“Bagaimana dengannya?” seketika keadaan berubah menjadi serius dengan lontaran pertanyaan dari Danson.

“Mendapat hukuman yang setimpal,” sahut Calvin malas, tentu ia tahu maksud Danson adalah gadis tak punya hati yang dengan sengaja berniat menghilangkan nyawa seseorang.

“Aku sungguh tak menyangka Genie melakukan hal hingga seperti itu,” ujar Jiro.

“Dia memang gadis iblis,” Danson menimpali dengan nada ketusnya.

Suasana dalam ruang rawat Danson pelahan mulai menghangat. Sepertinya ketiga pria ini sudah bisa salin mengerti diri masing-masing. Namun, hal yang berbeda terjadi pada ruang rawat Fu Zhen.

Setelah Yi Chen meninggalkan ruangan untuk membeli sarapan mendadak keheningan melanda. Jun Jie benar-benar merasa jika Fu Zhen tak aman lagi berada di Taiwan ini. Kejadian kemarin membuat pria itu mendadak posesif.

“Ikutlah denganku kembali ke Amerika Fu Zhen!” ajak Jun Jie yang langsung ditanggapi dengan gelengan kepala oleh Fu Zhen.

“Aku tidak bisa sebelum semuanya benar-benar berakhir,” sahut Fu Zhen.

“Tapi kau tidak aman berada di sini. Aku ingin melindungimu Fu Zhen, bagaimana pun juga kau adalah gadis yang kucintai,” tanpa sengaja akhirnya Jun Jie mengungkapkan isi hatinya.

Ucapan Jun Jie sukses membuat Fu Zhen terkejut. Ia selalu menganggap pria ini sebagai kakak laki-laki yang bisa melindunginya tidak lebih. Bagaimana mungkin Jun Jie dengan mudahnya mengatakan hal itu? Seakan sadar dengan ucapannya barusan membuat Jun Jie dengan terpaksa mengungkapkan perasaannya.

“Aku akan kembali ke Amerika besok,” ujar Jun Jie menatap Fu Zhen penuh harap.

“Maafkan aku,” Fu Zhen sangat mengerti arti tatapan itu tapi ia tak bisa member harapan lebih pada orang yang selama ini selalu ia anggap sebagai kakaknya sendiri.

“Yah, aku mengerti,” Jun Jie beranjak dari duduknya, ia tak bisa terus derada di dekat Fu Zhen sebelum berhasil mengendalikan perasaannya.

“Tapi …,” ucapan Fu Zhen terpaksa harus dipotong karena mungkin kalimat yang selanjutnya keluar dari bibir manis gadis itu adalah sesuatu yang menyakitkan baginya.

“Tak perlu kau pikirkan. Aku pergi,” Jun Jie melangkah ke pintu tapi sebelum benar-benar pergi ia harus mengatakan ini pada Fu Zhen agar tidak membuat gadis itu khawatir. “Aku hanya perlu waktu untuk menenangkan diri princess dan saat semua sudah kembali baik, kita bisa kembali seperti semula. Aku akan berusaha menjadi kakak yang terbaik untukmu,” lanjutnya dan menghilang di balik pintu itu.

Tak lama setelah Jun Jie keluar dari ruangannya, Calvin masuk dan menatap lekat gadis itu. Ia mendengar semua pembicaraan antara Jun Jie dan Fu Zhen. Hatinya merasa sedikit lebih tenang mengetahui gadis ini lebih memilih bertahan di Taiwan daripada ikut dengan Jun Jie ke Amerika.

Barbie Star!” panggilan Calvin terdengar berbeda dari biasanya, tak ada keraguan yang tersirat dari nada suaranya.

“Kau?” Fu Zhen ragu dengan pemikirannya tapi ia hanya berharap jika itu benar.

“Yah, aku sudah ingat semuanya,” jawab Calvin meyakinkan Fu Zhen.

Karena kecelakaan kemarin entah kenapa membuat memori abu-abu yang dulu terlihat samar berubah menjadi sangat jelas dalam pikirannya. Kepingan-kepingan puzzle yang sempat berantakan berhasil tertata rapi kembali tanpa celah sedikit pun. Calvin seakan mengingat bagaimana kejadian saat dulu ia mengalami kecelakaan dan melihat sosok malaikat kecil yang tersenyum manis padanya. Sangat cantik. Malaikat kecil itu ia sadari jika gadis dihadapannya saat ini adalah sosok yang sama.

“Kenapa lama sekali?” isak tangis Fu Zhen akhirnya pecah, ia benar-benar sulit untuk sekadar mengontrol emosinya saat ini.

Xie xie,” entah kenapa rasanya Calvin sungguh ingin berterima kasih pada Fu Zhen karena sudah hadir dalam hidupnya.

“Aku membencimu!” Fu Zhen sendiri tak tahu harus berkata apa dan kalimat itu meluncur begitu saja dari bibirnya.

“Tapi kau juga mencintaiku, Barbie Star,” sebuah pernyataan dari Calvin yang seolah menegaskan perasaan Fu Zhen padanya. “Karena aku juga sangat mencintaimu,” lanjutnya seraya menarik tubuh mungil Fu Zhen dalam pelukannya.

Emosi yang menyampaikan segala halnya tanpa kata-kata. Mereka melampiaskan kerinduan dengan dekapan erat, berharap takkan pernah terpisah lagi. Material lembut keduanya bertemu, menghantarkan cinta mereka yang entah bisa diibaratkan dengan apa?






Keanehan hidup Bear Boy dan Barbie Star ini terkadang memang terlihat tidak masuk akal tapi banyak hal di dunia yang mustahil menjadi mungkin saja terjadi. Tak ada yang tahu bagaimana takdir manusia selain Tuhan. Ketika ia mengambil ingatan seseorang dan mengembalikannya dengan cara yang sama entah mengapa terasa lebih indah. Walau mausia mengharapkan sesuatu tanpa adanya usaha maka semua akan sia-sia. Dan ketika usaha yang dilakukan memperoleh hasilnya maka kebahagiaan akan menghampiri seuai dengan takdir yang telah ditentukan.

Forget? Never! Sebuah fiksi yang bermaksud menyiratkan jika keoptimisan seseorang tak selalu berdampak baik. Ia berjanji tak akan melupakan sesuatu yang penting bagi dirinya. Tetapi  semua tak sesuai dengan yang pernah ia ucapkan. Namun, sebuah cara unik untuk kembali mengingatnya adalah cara yang sama ketika dulu melupakannya.

~ THE END ~


No comments:

Powered by Blogger.